Surat kala itu atas nama Kwon Yuri, yang tak lain ialah Kang Seulgi, si pemilik hati, terus ia simpan dan bawa kemana pun ia pergi. Surat dengan tulisan hangul semrawut itu bagaikan jimat, jimat penyelamat Joohyun dari semakin kejamnya hidup ia hadapi sekarang. Seulgi bahkan tak memiliki sebuah kepastian, sebuah jaminan atas pengakuan yang ia torehkan dalam surat tersebut, tapi apadaya Joohyun terlalu terlena dengan segala hal melibatkan Seulgi. Surat, cincin, dan Yuta; jaminan cinta tak pasti dari Seulgi.
Teras belakang menjadi saksi bisu permulaan keintiman keduanya, setiap kali rindu itu melanda begitu hebatnya Joohyun hanya bisa duduk bersama Yuta di pangkuannya menyaksikan bentangan alam hijau dan para hewan ternak dalam ketenangan senja menikmati rerumputan subur berkeliaran di situ. Sama seperti dulu, Joohyun bisa merasakan kehangatan Seulgi di sampingnya. Sesak itu terus menghimpit dadanya, dan hanya air mata satu-satunya pembebas dari beban tak kasat mata.
Lain hal dengan Yuta, bayi kecil itu begitu senang apabila diajak menonton gembala dan kambing-kambingnya secara langsung, tawa menggemaskannya samar-samar terdengar mana kala satu atau dua kambing terlihat mendekat ke pekarangan rumah mereka. Senang melihat Yuta tak serewel beberapa minggu lalu.
Langit mulai menggelap, tanda waktu bernostalgia Joohyun telah cukup. Ia membawa anaknya itu menuju ke kamarnya, Joohyun akan singgah ke dapur untuk menyiapkan makan malam, baginya dan mbok Dewi. Suaminya sudah seminggu berada di pusat kota, lelaki itu hanya berkata akan pergi cukup lama, kemungkinan bertambah lama karena ia akan mengunjungi Batavia bermaksud menemui para petinggi Jepang. Joohyun mengerti keadaan ini, ada hal genting terjadi entah di Hindia atau negara jajahan mereka lainnya. Namun, Joohyun menyukainya, satu bulan lamanya ia terus diawasi ketat oleh suaminya, akhirnya tujuh hari belakangan ini ia dapat bergerak bebas. Kalau bisa, lelaki itu pergi lebih lama lagi tak perlu kembali. Tak apa ia hidup berdua hanya dengan Yuta tanpa bergelimang harta pun juga tak apa. Joohyun hanya punya dua harapan setelah peristiwa kepergian Seulgi terjadi; ia bisa keluar dari lingkaran setan pernikahannya dan kembali bersama satu-satunya manusia yang begitu ia cintai, Kang Seulgi.
Joohyun tak bisa membayangkan menghabiskan umurnya dengan lelaki brengsek yang tak pernah ia beri hatinya sama sekali, bersetubuh dengan lelaki itu sepanjang hari, terus bersandiwara layaknya istri yang patuh. Jantungnya belum berhenti berdetak dan napasnya bahkan belum habis, tapi mengapa Tuhan tega melemparnya hidup-hidup ke neraka?
Mungkin Joohyun digariskan untuk menjadi penghuni tempat bernaung para makhluk tercela di hadapan yang maha suci, maka dari itu ia berharap Seulgi dapat hadir, melengkapinya menjadi pendosa paling bahagia di tempat jahanam itu. Karena Seulgi adalah pelengkapnya, dosa yang akan ia hidupi sepanjang umurnya.
Sunyi malam memeluk keberadaan Joohyun yang masih terjaga, memandangi surat dua minggu lalu sampai di tangannya. Tak terhitung telah berapa kali kata demi kata ia baca, terus menerus, tak ada bosan menggangu. Rindu yang menumpuk seakan terkikis sedikit demi sedikit, hangat seperti menjalar menyelubungi lubuk hatinya.
Hanya ada 4 kalimat tertera di kertas itu, 4 kalimat kuat yang berdampak begitu hebatnya untuk Joohyun.
Aku menjanjikan dan mengusahakan sebuah permulaan baru.
Aku memintamu untuk tinggal di hidupku, aku tahu pasti aku terlihat seperti tak tahu diri dan tak memiliki harga diri. Namun, orang sepertiku tak mengenal apa itu harga diri.
Kumohon, bersedialah Bae Joohyun.
-----
Sang surya belum seluruhnya nampak di cakrawala namun dari balkon rumahnya, Joohyun dapat melihat para warga kampung yang sudah ramai berbincang-bincang tentang musibah terjadi di kampung sebelah tiga hari lalu. Para pejuang kemerdekaan itu mengincar para non-pribumi entah itu berasal dari Belanda, Jepang atau lainnya. Semua terbantai habis, tak satupun bangsa-bangsa penjajah itu selamat, Mbok Dewi menyampaikan hal tersebut langsung pada Joohyun setelah pulang dari pasar; mencuri-curi dengar obrolan para pedagang. Tak mungkin perasaanya jadi tak was-was, terutama ia mengkhawatirkan Yuta. Bayi kecilnya tak bersalah untuk ditumpahkan darahnya oleh para pembantai itu.
Bawahan suaminya datang siang ini membawa kabar kepulangan Hiyoshi besok pagi, jika waktu mengijinkan untuk lebih cepat kemungkinan ia akan tiba nanti malam. Joohyun telah menduganya, pasti musibah ini telah terdengar sampai ke telinga lelaki itu, Dan sekarang ia diminta untuk bersiap, entah dirinya atau barang-barangnya karena mereka akan pergi ke Batavia, mengungsi.
Joohyun tak perlu menyiapkan banyak barang, hanya beberapa helai pakaian cukup untuknya. Ia lebih mementingkan keperluan bayi lelakinya. Rewelnya bayi ini salah satu yang Joohyun hindari selama perjalanan jauh nanti. Kenyamanan dan keamanan bayinya adalah prioritas utama.
Malam ini rumahnya dijaga ketat oleh para bawahan yang langsung di perintahkan oleh suaminya sendiri untuk menjaga kediamannya. Ada rasa lega datang, namun khawatir itu lebih menetap lama. Rasa kantuk Joohyun pun dibuatnya hilang. Matanya terjaga, ia bolak-balik mengintip jendela berharap malam ini baik-baik saja.
Namun harapannya pudar, Joohyun bisa mendengar dengan jelas bunyi tembakan, jeritan, tangisan dan itu terasa sangat dekat. Semakin lama semakin mendekatinya, dengan sigap ia menghampiri Yuta, membawa bayi itu ke pelukannya. Ia hanya punya satu harapan, senjata api kesayangan Hiyoshi, terletak di ruang kerja suaminya.
Setelah mendapatkan senapan itu, dirinya kembali ke kamar. Entah tindakannya saat ini mungkin terlihat sangat bodoh, hanya ia terlalu takut untuk berlari luntang-lantung keluar. Para pembantai itu berkeliaran bisa dimana saja, dan itu sangat riskan untuk keselamatan Yuta.
Pendengarannya menangkap suara pintu utama yang di dobrak paksa, tembakan itu semakin menjadi-jadi. Ia gemetar, jantungnya berdetak sangat cepat, bertambah dengan keringat dingin mengucur keluar ketika suara langkah kaki berada di luar kamarnya. Entah mengapa pikirannya tiba-tiba tertuju pada orang itu, tidak bisakah ia datang untuk menjemputnya?
Tidak bisakah Seulgi datang untuk menyelamatkannya?
Brak!
Pintu terbuka dengan kasar, tangannya hampir menarik pelatuk. Gagal, senapan di genggamannya jatuh begitu saja. Tiba-tiba seluruh kekuatan ditubuhnya tertelan entah kemana, tubuhnya lemas. Air matanya jatuh satu per satu membasahi wajah Joohyun. Ini bahkan lebih mendebarkan dibanding sebelumnya.
Seulgi, berdiri di hadapannya, napasnya terengah-engah, peluh menjadi hiasan di wajahnya, tangan wanita sipit itu menggenggam sebilah pisau yang telah dinodai banyak darah bahkan pakain dan wajahnya juga ikut terciprat darah.
Joohyun tak bisa peduli tentang darah siapa itu sekarang, yang bisa ia cerna hanya perempuan itu perlahan melangkah mendekatinya, membawa harapan besar bagi Joohyun.
Seulgi datang untuk menyelamatkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Seulgi
FanfictionJoohyun turun dari ranjang, namun tertahan keluar atas pertanyaan Seulgi, "Joohyun, apa yang kau lakukan?" "Mencicipi manisnya dirimu lagi." Wanita itu tertawa kecil melihat reaksi terkejut Seulgi, kemudian meninggalkan gundiknya itu.