T h e L u c e l e n c e' s
WAJAH Arkan menyambut Keith ketika dia membuka mata pertama kali dan indra pendengarannya mendeteksi keributan. Angin lemah Keith cepat meredamnya.
"Lo sakit?" Ketua kelasnya menopang dagu di bangku, menghadap ke arahnya alih-alih papan tulis. Daffa di sebelahnya melakukan hal yang sama.
Keith di kelas. Kenyataan itu menamparnya telak. Dia ketiduran. Gawat! Jam berapa sekarang?
Beringsut bangun, sebuah tangan menepuk bahunya penuh kehati-hatian, Dio orangnya. "Keith, kamu kelihatan kurang sehat. Mau ke UKS?"
Keith menggeleng. Dia baik. Jam tangan di dinding menunjukkan jam istirahat sekolah, artinya Keith melewatkan dua pelajaran. "Em, tenang, Keith. Kami tadi minta izin buat lo karena waktu guru masuk, lo langsung tepar di meja." Daffa memaparkan.
"Terima kasih," Keith diliputi kelegaan. Dia melunak, menyandarkan punggungnya di bangku.
Tidak biasanya Keith kehilangan kendali dan tertidur kalau bukan malam hari. Hari ini pengecualian. Energi Keith terbuang besar kemarin kala menemani adik-adiknya dan malamnya dia mengerjakan tugas untuk dua hari ke depan, telat tidur.
Para penyandang Lucelence adakalanya berkonsentrasi untuk tidak mengacaukan atau meledakkan apapun. Keith tahu dia bukan apa-apa dibandingkan kekuatan Milo dan suatu keajaiban adiknya itu mampu mengendalikannya sebaik itu disaat energinya tumpah ruah. Mungkin karena itulah Milo punya kepribadian yang energik.
Konsentrasi penuh itu membuat mereka lelah dan butuh istirahat terlebih usai menghabiskan energi dalam rumah, dan mengendalikannya di luar. Semakin besar kekuatan, semakin sulit menahannya. Semenjak kecil sampai sekarang, Papa secara bertahap membiasakan mereka dengan membatasi waktu anak-anaknya di luar, lalu keadaan itu melonggar sedikit demi sedikit seiring pertumbuhan kelimanya.
"Lo yakin lo oke?" Keith berdeham sebagai jawaban. Dia kembali menutup mata, membiarkan matanya istirahat lebih lama. Kepalanya berdenyut. "Tidak apa-apa."
"Kita makan ya, kalo gitu." Daffa mengumumkan, membuka tutup mi instan, asapnya mengepul. Arkan mengikuti, menambahkan sebanyak mungkin bumbu. Mengaduknya penuh selera.
Keith mengintip. Apa harus di meja ini? Diliriknya Dio yang memejam menikmati bekal buatannya. Ya sudahlah. Keith merogoh tasnya, menaruh
Ini juga tidak buruk.
Pernah suatu ketika Dio menyaksikan Keith melepas kacamatanya, lalu bertanya. "Kamu tidak pernah punya niat untuk operasi lasik?"
"Aku suka berkacamata." Lagian, mana bisa dia baca buku dengan nyaman tanpa kacamata?
"Jadi, kamu mampu melakukan operasi lasik itu? Kudengar operasinya mahal."
"Benarkah? Kukira aku tak akan melakukannya. Aku tidak punya uang." Keith menghabiskan uang sakunya untuk buku, omong-omong. Sementara Dio beranggapan latar belakang finansial Keith tidak begitu baik karena dia pindah kesini (yang mana salah besar). Namun positifnya, setelah menyadari itu, sikapnya berubah, dia lebih santai terhadap Keith.
Rumor kepindahan Lucelence ke negara tropis yang beredar di media sosial cepat mereda seiring isu kontroversial para artis. Pada akhirnya, teman-teman sekelas mengambil kesimpulan meski memiliki nama belakang serupa, anak Lucelence bukanlah Keith Adharva. Dia terlalu sederhana dan tertutup, terlepas dari betapa luar biasanya kepintaran dan tampangnya. Tak ada yang tahu Teriel ikut berperan menutup mulut internet.
Kesimpulan yang diambil seenaknya itu memengaruhi teman-teman Keith.
"KEITH! Lo udah sadar?!" Salah satunya, Susi yang pemalu. Menyusul di belakangnya, dua sahabat Nita dan Desi, serta Selin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lets Meet The Lucelence's
Teen Fiction[PART 1 SELESAI] Tidak ada keluarga yang lebih sempurna dibandingkan keluarga Lucelence. "Iris... kenapa merenung begitu?" "Bukan hal penting, Ma. Kak Keith dimana?" Tidak ada. "Kesinikan remotenya, Anak Nakal!" "Ini baru episode lima, Granny! Kube...