T h e L u c e l e n c e' s
Milo mendapat tempat duduk yang strategis dan mengkhawatirkan untuk orang lain, deretan pertama, baris kedua dekat pintu. Dia duduk di pojok.
Sekali dua kali sepanjang pelajaran, Milo melihat sekitarnya. Di belakangnya duduk gadis pirang dan gadis berjilbab yang tampak pemalu. Di depan Liam dan Milo, duduk seorang pemuda tinggi berkulit gelap dan gadis asal korea.
Bosan menyerang Milo. Dia melihat keluar dan rasa penasaran menghampirinya. "Liam, hei, kamu bisa temani aku keliling sekolah? Kamu sedang... err... kurasa itu sudah cukup tertata."
Liam menggeleng keras. Belum. Dia gesit memasukkan alat tulisnya, mengurutkan pensil dari yang paling panjang sampai yang paling pendek. Buku-buku cetak ditumpuk, tipis di puncak, berat di dasar. Benar-benar teratur.
"Aku tidak mau. Minta saja ketua kelas."
"Eeh? Baiklah. Aku akan memintanya. Omong-omong, siapa ketua kelasnua?"
Pemuda tegap di depan Milo berbalik, ternyata sedari tadi mendengarkan. "Aku, lho. Marcell. Halo, Milo. Sedikit info, aku suka olahraga dan segalanya tentang olahraga jadi hubungi saja aku soal itu."
"Hai, Marcell! Aku juga suka olahraga. Favoritku lari dan bela diri."
"Luar biasa! Keahlianku renang dan juga lari. Tapi kesukaanku sudah pasti catur."
Marcell melihat pada gadis yang tengah serius berkutat pada buku jurnal, menempel kertas-kertas kecil bergambar. Tertera angka-angka dan nama negara di setiap kertas.
Milo mengira-ngira, sampai pada kepastian. Itu adalah prangko."Ah, ya... Haloo~ Minji." Marcell mengetuk bahu gadis di sebelahnya. "Hm? Iya, Cell? Ah... Annyeong haseo Lee Minji... namaku. Salam kenal, Milo. Aku dari Korea Selatan."
"Aku Chloe dari Paris. Hei, Sofi!" Chloe menghentikan teman sebangkunya menulis.
"Hm? Eh... namaku Sofi. Aku dari Arab." Gadis berkerudung itu mengangguk sopan.
"Aku Milo dari Amsterdam." Milo mengikuti, melambaikan tangannya, tempo cepat.
Marcell bangkit, mengetuk meja Liam sekali. "Ayo, Milo. Kutunjukkan padamu kehebatan sekolah ini. Kalian ikut, teman-teman? Sofi? Kita sekalian ke kantin untuk beli susu." Marcell menekankan kata terakhir, matanya berserobok, mereka berdua mengirim sinyal aneh.
"Aku ikut kalau begitu..." Sofi tersenyum tipis, menangkapnya.
"Minji?"
"Ya, ya. Sebentar. Sedikit lagi." Minji menutup buku yang ditempeli perangko dari berbagai negara. Dia mengoleksi prangko dan punya banyak sahabat pena. "Aku ikut, kok," tambahnya.
Chloe mengibaskan rambutnya. "Jangan lupakan aku. Aku tak ingin Marcell berhenti terlalu lama di lapangan dan lupa menunjukkan tempat lain. Ngomong-ngomong, dia menyukai catur tapi payah sekali dalam olahraga satu itu."
"Hei! Chloe!" Marcell tak terima.
"Terima kasih! Kalian baik sekali." Milo bertepuk tangan, bersemangat.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Liam, kamu ikut?"
Liam menggeleng segera. "Cepatnya! Aku merasa tersakiti." Milo menyentuh dadanya, dramatis. Tidak apa-apa. kali selanjutnya dia akan mengajak Liam bergabung dalam revolusi.
Marcell terbahak, menepuk bahu Liam sok akrab. Liam menggerakkan kursinya mundur. "Dingin seperti biasa ya, Liam. Kurangilah kebiasaanmu itu. Maklumi saja, Milo. Ini yang ke lima puluh satu kali agaknya."
"Aku tidak mengerti dingin dari mana maksud kalian dan perhitunganmu keliru, Marcell."
"Eh? Benarkah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lets Meet The Lucelence's
Teen Fiction[PART 1 SELESAI] Tidak ada keluarga yang lebih sempurna dibandingkan keluarga Lucelence. "Iris... kenapa merenung begitu?" "Bukan hal penting, Ma. Kak Keith dimana?" Tidak ada. "Kesinikan remotenya, Anak Nakal!" "Ini baru episode lima, Granny! Kube...