T h e L u c e l e n c e' s
Mencari ilmu? Buku? Pencerahan? Hal-hal semacam itu ada di balik pintu kamar ini.
Mendengar ketukan empat kali dari luar kamar, Keith menjentikkan jari, pintu terbuka pelan. Milo berdiri di sana, tersenyum lebar, melambai pada si sulung yang duduk dengan earphone terpasang dan ponsel di sebelah tangannya. Tampaknya kakaknya sedang menonton. Itu fenomena langka. Keith yang Milo sering temui selalu duduk dengan buku, jadi Milo rasa ini pemandangan bagus. Kakaknya bersantai.
"Hai, Keith!" Milo melihat ke sekeliling kamar yang putih, lalu kakinya menyandung sesuatu.
"Aw!" Dia berjongkok setelah menyadari apa itu. Setumpuk buku. Milo meraih dua buku teratas.
Emily Post's Etiquette
Etiket? Tawa Milo tersembur. Keith menaikkan kacamatanya yang melorot di kursi belajar, bingung.
"Ini bukan bukumu, kan? Itu tak mungkin."
Ah... Keith mengangguk.
"Mungkinkah... buku Mama? Ei, tapi sepertinya Mama tidak membutuhkannya..." karena Mama sudah menguasainya, Milo dan Keith masing-masing melanjutkan dalam hati.
"Itu dibeli Adara," Keith memberitahu.
Sekali lagi, Milo terbahak. Lebih lama dan kencang. "Tahan, River bisa-bisa kesini nanti, Papa juga." Keith memperingatkan. Adiknya yang satu itu tidur siang jam segini, energinya terpakai cukup banyak untuk mengalirkan air ke satu rumah. Sama halnya dengan Papa, listrik. Milo menutup mulut, mengendalikan diri dengan sisa-sisa tawa.
Nenek sihir itu membeli buku tentang etiket. Tapi kenapa? Milo membolak-balik halaman buku, mengerutkan kening di setiap halamannya. Dia berakhir kembali meletakkan buku, mengambil buku kedua.
Gordon Ramsay Makes it Easy.
Siapa Gordon Ramsay? Milo meneguk ludah melihat makanan-makanan di sampul buku. Milo membukanya. Benar, buku masakan!
"Hm... Wow... Ah..." Milo mengangguk-angguk membacanya. Resep simpel dengan foto makanan jadi membuat Milo tergugah. Penasaran akan rasanya.
Menarik. Aroma makanan seolah tercium ke hidung. mendadak, Milo lapar. Milo menyenangi semua makanan tanpa terkecuali. Daging, sayuran, kue, buah-buahan... apapun. Dia selalu menjadi penikmat.
"Keith, ini juga buku Dara?" Keith mem-pause tontonannya. "Hm? Itu pesanan Iris."
"Iris? Dia belajar masak! Waw! Aku tertarik. Benar-benar... boleh kupinjam?" Keith melirik Milo.
"Jaga baik-baik," pesannya. Lalu Keith kembali fokus.
Milo mau tak mau didorong rasa ingin tahu melihat kakaknya tak terganggu dengan kelakuannya. Dia mendekat perlahan, mengintip.
"Nonton apa?" Terkejut, Keith spontan mengangkat tangannya, mengacungkan jari, semilir angin mengangkat Milo ke udara.
Ups. Keith cepat menurunkan tangan.
"AKH! KEITH!" Keith lupa menyiapkan pendaratan.
Milo mengarahkan tangan ke lantai putih. Rumput hijau tumbuh, menjadi tempat pendaratan.
"Maaf, Milo." Keith menepuk-nepuk bahu adiknya, anak-anak angin menerbangkan helaian rambut Milo, menyejukkan wajahnya.
Namun ponsel Keith tetap disembunyikan di balik punggung. Keith memberikan senyum malaikat."Hmph! Aku tidak sepenasaran itu, kok. Kakak tinggal bilang saja kalo tidak ingin memberitahu lagi nonton apa." Milo bangkit, berdiri tegak.
"Aku pergi. Terima kasih bukunya. Akan ku kembalikan nanti." Milo melambai ringan.
"Apa aku kelewatan sesuatu?" River membuka pintu kelewat bersemangat, membuat Milo mundur seribu langkah. Dia memegangi wajahnya yang bisa saja hancur karena pintu.
"WOI!"
Keith menggelengkan kepalanya, lelah. "Hati-hati, River. Lebih baik kamu tidur lagi. Tidak ada yang terjadi, oke?" River menenggelamkan matanya saat tatapannya menajam. Be-nar-kah-? Tapi sedetik, rautnya kembali normal. "Oke." Mana berani dia membantah Keith.
"Lebih baik kamu tidur lagi." River tampak kurus, tinggi, dan kekurangan gizi. Wajahnya tampak semakin tirus setiap hari dan matanya sipit. Dia butuh istirahat dan makanan yang cukup.
Keith ganti melirik Milo yang beradu tatapan dengan River. Adiknya yang satu lagi tak pernah kehabisan energi. Staminanya di luar batas manusia, itulah kenapa Keith pikir Milo perlu menenangkan dirinya sewaktu-waktu. Meditasi, atau diam saja di kamarnya setengah hari. Milo aktif mengunjungi kamar setiap orang di rumah saat dia bosan. Tanpa tujuan.
"Hei."
"Apa?"
"Adara membeli buku tentang etiket."
"Pffft... Kak Dara? Sungguhan?"
"Ayo ke kamarnya."
"Ide bagus." Keduanya saling melempar seringai keji. Mengaktifkan mode jahat.
"Dah, Keith!"
"Duluan, Kak!" Pintu kamar tertutup.
Keith menghela napas. Mereka tak tahu kenapa Dara membeli buku etiket. Seharusnya Keith memberitahu tadi. Tapi tak masalah. Itu bukan masalah besar.
Keith mencabut colokan earphone. Suara dari video YouTube yang dia tonton terdengar jelas.
"Bahan yang harus Anda siapkan adalah dua sendok olive oil, empat ons selada, jamur segar..." Keith mencatat. Dia harus mencoba memasak sesekali.
Iris mulai belajar masak. Dia meminta Keith memesan buku itu seminggu lalu dan akhirnya menyelesaikannya, kemudian Keith menjadi peminjam buku selanjutnya.
Tertarik belajar lebih lanjut tentang ilmu memasak, Keith menelusuri lebih lanjut dan menonton video-video praktik memasak untuk dia lakukan suatu hari nanti.
Memasak. Sesuatu yang belum pernah dia, dan mungkin ketiga saudaranya yang lain sentuh. Mereka terbiasa makan tanpa memikirkan proses. Menyadari hal ini, Keith menyadari memasak sangat penting dan itulah kenapa Iris mempelajarinya.
Dia berbeda. Normal. Namun tetap sama istimewanya.
Keith mengepalkan tangan. Dia... juga akan belajar memasak.
Untuk hidup normal.
***
Iris sendiri tengah mencatat resep di note kecilnya. Dia berencana memasak untuk keluarganya. Masakannya sendiri. Bukankah itu hebat?
Dia bersin sedikit, hidung mungilnya memerah. Iris tak tahu menahu tentang pendalaman pikiran yang dilakukan Keith.
Selesai dengan misinya. Iris menyingkirkan buku-buku ke sudut kamar dengan perasaan puas.
Berbaring di ranjang, si bungsu tersenyum pada langit-langit kamar. Dipeluknya note itu erat.
Perasaan senang Iris sesederhana itu.
Note:
Sekarang kalian tahu kenapa Keith adalah kakak terbaik, dan kenapa Iris adalah adik terbaik ;)6 Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Lets Meet The Lucelence's
Dla nastolatków[PART 1 SELESAI] Tidak ada keluarga yang lebih sempurna dibandingkan keluarga Lucelence. "Iris... kenapa merenung begitu?" "Bukan hal penting, Ma. Kak Keith dimana?" Tidak ada. "Kesinikan remotenya, Anak Nakal!" "Ini baru episode lima, Granny! Kube...