20. Jung Jaemin

4.1K 640 8
                                    

"Haruskah aku datang untuk mengunjungimu besok?"

"Tidak perlu, kau akan kerepotan."

"Tentu saja tidak. Aku akan datang besok pagi untuk melihatmu, gege."

"Baiklah kalau begitu."

Renjun tersenyum tipis dan menutup teleponnya. Tatapannya lantas beralih pada Haechan yang ada dihadapannya tengah memakan dimsum dengan rakus seperti gelandangan yang tak makan seminggu.

"Aish, anak ini. Makan pelan pelan!"

Haechan memutar kedua bola matanya malas. Renjun sialan. Cerewet sekali, seperti ibu ibu saja. Pantas saja Renjun melajang sampai detik ini. Meski Haechan tahu dia terkesan tidak tahu diri karena senasib, tapi kan tetap saja!

"Menulis lirik lagu juga melelahkan, kau harusnya bersyukur karena kau adalah orang pertama yang sudah mendengarkan lagu lagu terbaruku sebelum manusia di dunia ini mendengarnya!" Balas Haechan tak terima. Lelaki berkulit Tan itu berdecak kesal dan kembali fokus pada makanannya.

"Siapa yang kau telepon tadi sampai harus berbicara bahasan Mandarin? Hanya angka yang kutahu jika membicarakan bahasa Mandarin. Yi, er, san, si, wu-bahasa Mandarinnya angka enam apa?"

Ingin sekali Renjun memukul kepala Haechan dengan mangkuk mie yang dia pesan. Bagaimana bisa ada produser lagu dengan otak sekecil ini? Untung saja lagu lagu Haechan bagus. Jika tidak, Renjun pura pura tidak kenal saja jika orang orang menanyakan.

"Sepupuku."

"Ahh, begitu..."

Keduanya terdiam sejenak sembari menatap keramaian di restoran Cina yang sedang mereka kunjungi saat ini.

"Jeno belum meneleponmu?" Tanya Haechan pada akhirnya.

Renjun menggeleng.
"Dia masih sibuk mengurus proyek bersama Taeyong hyung."

"Apa dia sudah tahu kalau Jaehyun hyung sudah kembali ke Seoul?" Tanya Haechan lagi.

"Aku tidak tahu. Tapi menurutmu, bagaimana respon Jeno saat tahu Jaehyun kembali?" Haechan tampak berpikir sejenak. Yang dia tahu, Jeno memang sangat sedih saat Jaemin meninggal, namun dia tak tahu jika Jeno menyimpan amarah pada Jaehyun saat tahu yang sebenarnya terjadi.

"Entahlah..."

"Renjun." Panggil Haechan.

"Hmm?"

"Kau masih sedih karena Jaemin meninggal?"

"Bahkan rasa sedihnya masih sama seolah dia baru meninggal kemarin."

Haechan lantas menyandarkan punggungnya pada kursi. Dia tersenyum tipis meski tampak dipaksakan.

"Lucu ya? Aku bahkan masih tidak menyangka sampai hari ini jika kita bisa berteman dengan Jung Jaemin."

"Kau benar."

"Yakk, kau ingat saat kita pernah menendangnya di kamar mandi karena ada satu soal dari PR kita yang dia kerjakan salah? Wahh, Jeno sangat kesal padanya waktu itu."

Renjun mengangguk.
"Kita juga pernah menguncinya di kamar mandi sampai pulang sekolah. Kita juga pernah hampir membuatnya dalam masalah. Jeno juga membuatnya kehilangan beasiswa. Kita juga pernah membuatnya pincang seminggu. Kita memang sangat brengsek waktu itu."

"Benar, kan? Lalu bagaimana bisa kita berteman dengannya?"

"Iya juga ya?"

Haechan dan Renjun lantas terkekeh pelan. Menertawakan kebodohan kebodohan mereka di masa lalu terhadap seorang Jung Jaemin. Lucu sekali, pembully bisa bersahabat dengan mangsa bully-an nya.

Memories Philosophy || Jung JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang