"Haechan."
"Apa lagi?"
"Aku ingin menanyakan sesuatu padamu."
Haechan yang tadinya sibuk dengan game di ponselnya lantas memutar bola mata kesal dan menatap Renjun. Dari tadi si pendek ini sangat berisik sampai sampai telinganya bisa pecah.
"Sudah pertanyaan keberapa yang ingin kau tanyakan sekarang ini? Mau kupukul?"
"Memangnya kau bisa memukulnya?" Tanya Jeno tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang sedang dia tanda tangani.
Ketiganya kini berkumpul di ruang kerja Jeno. Hal yang sekarang sangat jarang bisa dilakukan.
"Aku ingin bertanya pada kalian. Seandainya saja nanti Jaehyun menemui kalian, apa yang akan kalian lakukan?" Tanya Renjun.
"Tentu saja bertukar kabar. Sekedar basa basi, mungkin?" Balas Haechan.
"Kalau kau, Jeno?" Tanya Renjun.
Yang namanya dipanggil tak bergeming di tempatnya. Lelaki itu hanya mengedikkan bahunya tidak peduli. Untuk apa? Lagipula dia tidak akan mau menemuinya.
Haechan yang jengah dengan sikap Jeno itupun hanya berdecak kesal.
"Jeno, kau tidak punya hak untuk membenci Jaehyun, kau tahu itu?"Ucapan Haechan berhasil membuat atensi Jeno beralih padanya. Dia melirik Haechan yang sedang duduk santai di sofa dengan tatapan datar namun alisnya bertaut, seolah tak terima dan tak setuju dengan opini yang Haechan lontarkan.
"Apa aku salah? Siapa kau yang bisa membenci Jaehyun karena dia yang menerima donor sumsum tulang belakang dari Jaemin ketika anak itu masih dibawah umur? Kau hanya teman Jaemin. Tidak lebih. Benar, kan?" Ucap Haechan lagi.
"Kau tidak tahu, Lee Haechan." Balas Jeno.
"Apa? Apa yang aku tidak tahu? Kita semua sudah tahu hal itu. Aku dan Renjun sudah menerimanya karena semua itu memang masa lalu mereka. Kita tidak punya hak untuk mencampuri dan terlibat di dalamnya."
"Haechan, sudahlah." Renjun menyenggol bahu Haechan pelan. Menyuruh anak itu menghentikan ucapannya sebelum menyulut kemarahan Jeno. Namun Haechan tetaplah Lee Haechan yang keras kepala. Anak itu masih terus berbicara tanpa henti.
"Yang namanya masa lalu tidak akan bisa kita ubah. Bahkan jika kita menangis darah ketika berdoa pun kita tidak akan bisa mengubah apapun. Lalu kenapa kau tidak bisa menerima hal itu setelah bertahun tahun?" Tanya Haechan lagi.
"Jaehyun sudah cukup menyesal. Kau tahu betapa menderitanya dia sampai hampir gila kalau Hyung mu itu tidak membuat identitas baru untuknya dan mengirim Jaehyun ke New York. Sekarang dia kembali dan ingin memperbaiki semuanya. Meski tak akan bisa kembali 100% seperti sebelumnya, setidaknya dia sudah berusaha, kan?"
Renjun memuji pangkal hidungnya. Pertanyaan simple nya bisa membuat perdebatan ternyata.
"Jangan membenci Jaehyun, Jeno. Kita juga sama brengseknya saat memperlakukan Jaemin dulu." Haechan berdecak kesal lantas bangkit dan pergi darisana.
Baiklah, Renjun tak tahu lagi harus bagaimana sekarang ini. Dia melirik Jeno yang masih diam di tempatnya. Lelaki itu lalu kembali fokus oada berkas berkas miliknya tanpa memperdulikan keberadaan Renjun disini.
"Jika aku boleh jujur... Haechan benar." Ucap Renjun.
"Kita tidak punya hak untuk membenci Jaehyun. Kita dan Jaehyun itu sama. Kita dan dia sama sama orang jahat yang menyesal." Renjun lantas pergi dan meninggalkan Jeno sendirian di ruangannya. Jeno lantas berdecak pelan. Dia kesal dan marah, namun ucapan Haechan kembali membuatnya berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memories Philosophy || Jung Jaehyun
Fanfiction[SEQUEL When this rain stops || NCT dream x 127] Ternyata... Kesempatan kedua itu benar benar ada, ya? "Dia mirip Jaemin..." "Tapi dia tak akan mati juga seperti Jaemin, kan?" "Aku bukan adikmu." "Jadi berhenti menyamakan aku dengannya." "Adikmu s...