12. Semangat Rania

4.2K 763 54
                                    

Rania merasa tidak tenang sebelum mengetahui keadaan Bu Narti. Malam itu juga dia bergegas ke luar dari kamarnya dan berjalan cepat menuju kamar Bu Narti yang berada di area ruang tengah.

Langkah Rania memelan saat melihat Bu Narti yang masih dipapah Pak Jono menuju dalam kamar. Dia belum berani mengikuti keduanya sebelum Bu Narti mengizinkannya. Akhirnya, dia pun memutuskan berdiri saja di mulut pintu kamar.

Tak lama kemudian, Pak Jono muncul dari dalam kamar Bu Narti. Dia tersentak melihat Rania yang berdiri dengan wajah cemas.

"Lho. Mbak Rania belum tidur?" tanyanya cepat.

"Ada apa dengan Bu Narti, Pak?" tanya Rania. Dia tidak mempedulikan pertanyaan Pak Jono barusan.

"Oh. Sakit. Bronkitis," jawab Pak Jono pelan.

Rania sepertinya belum puas dengan jawaban Pak Jono.

"Mau liat?" tawar Pak Jono.

Rania mengangguk.

"Batuk-batuk. Bisa nular lo,"

Rania tersenyum. "Bronkitis nggak nular, Pak," ucapnya.

Pak Jono terkesima dengan senyuman Rania. Duh, sudah cantik, baik lagi. Pingin tak peluk, batinnya.

"Saya tanya dulu ya, Mbak..." pamit Pak Jono.

Rania mengangguk lagi.

Pak Jono pun kembali memasuki kamar Bu Narti.

Beberapa detik kemudian, Pak Jono ke luar dari kamar Bu Narti dengan senyuman.

"Masuk saja katanya," ucapnya sambil mengarahkan ibu jari kanannya ke dalam kamar Bu Narti.

Rania senang. Dia pun tidak lupa mengucapkan terima kasih sebelum melangkah memasuki kamar Bu Narti.

Rania sedikit terperangah melihat keadaan kamar Bu Narti bak hotel berbintang. Kamar yang cukup luas dengan perabotan-perabotan mewah. Ada sofa empuk berukuran besar, lemari baju besar dan lemari kaca yang berisi jejeran tas-tas yang harganya jutaan rupiah. Kasur yang ditiduri Bu Narti pun besar dengan penyanggah berbahan kayu jati. Belum lagi meja rias yang dilengkapi peralatan make up yang tertata rapi di atasnya.

Rania perlahan mendekati tubuh bongsor Bu Narti yang terkulai lemas.

"Duduk di situ aja, Rania..." ujar Bu Narti yang tidak ingin Rania berada di dekatnya.

Perasaan Rania seketika hangat saat namanya disebut Bu Narti. Selama tinggal di rumah suaminya itu, Bu Narti enggan menyebut namanya.

"Nggak papa, Bu,"

"Takut nular..."

Rania tetap berdiri di dekat Bu Narti.

"Nggak, Bu. Asal jaga kesehatan, Insya Allah nggak nular..." ucap Rania.

Bu Narti tersenyum lemah. Dia tepuk-tepuk kasurnya memberi isyarat agar Rania duduk di atas kasurnya. Dia masih terbatuk-batuk.

Rania perlahan duduk di sisinya seraya mengusap-usap punggung Bu Narti dengan gerakan memijat. Sedih juga melihat keadaan Bu Narti yang lemah tak berdaya. Biasanya Bu Narti tampak garang dan gerak tubuhnya yang lincah saat bekerja. Suaranya pun terdengar sangat serak, tidak senyaring biasanya saat memarahinya.

"Kamu sibuk ngajar?" tanya Bu Narti setelah selesai dari batuknya.

"Iya, Bu. Seperti biasa..." jawab Rania pelan.

"Hm..., apa kamu bisa bantu aku?" tanya Bu Narti tanpa basa basi.

"Bantu apa, Bu?" Rania balik bertanya.

Cinta RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang