14. Curhat Rania

5.6K 776 60
                                    

Rania menangis meratapi nasibnya dini hari itu. Tidak menyangka suaminya memaksanya melakukan hal yang menyakitkan hati dan perasaannya. Sehingga dia merasa direndahkan. Karena setelah puas, Alaric langsung pergi dari kamarnya begitu saja tanpa peduli isak tangisnya. Tidak ada raut iba di wajah Alaric saat menghujamkan miliknya ke oral Rania. Padahal Rania menangis sejadi-jadinya. Yang terlihat adalah wajah bengis penuh napsu membara.

Rania peluk bantalnya kuat-kuat mengenang hidup bersama mamanya. Kehidupan yang sangat indah penuh dengan impian. Meskipun hidup sederhana dan terpisah dari Papa kandung sejak kecil, mamanya tetap memberi dukungan dan semangat bahwa suatu saat Rania pasti hidup bergelimang harta dan bahagia bersama pria yang sangat dia cinta. Doa yang selalu mamanya sematkan kepada Rania sedari kecil.

Ternyata mencintai itu sangat menyakitkan. Sudah beberapa kali Rania mengalami kegagalan dalam percintaan. Saat mencoba dalam kepasrahan dan menyadari bahwa pria yang dia cintai tidak mencintainya, barulah dia merasakan penyesalan yang sangat mendalam. Seharusnya dia tolak saja perjodohan itu dan memilih kesendirian.

Tidak masalah bagi Rania tinggal di kamar sempit dengan perabotan seadanya. Tak masalah baginya tidak menikmati fasilitas wah di rumah besar suaminya. Tak masalah pula dengan perlakuan ART atau bahkan perlakuan Alaric yang acuh tak acuh kepadanya. Tapi direndahkan seperti ini sungguh keterlaluan bagi Rania.

____

Pagi ini Rania tidak mau 'bekerja' di dapur. Kejadian sebelumnya sangat menjengkelkannya. Setelah ibadah Subuh, dia langsung bersiap-siap pergi dari rumah Alaric.

Rania tidak mengajar hari ini, dia akan pergi ke rumah Alvaro yang berada di Jakarta Barat. Rania ingin mencurahkan apa yang dia alami dini hari tadi.

Rania tidak menggunakan motor kecilnya. Dia pergi menggunakan angkutan umum. Rania khawatir pikirannya yang kacau akan mengganggu berkendaranya. Bisa fatal akibatnya. Lagipula rumah Alvaro cukup jauh jaraknya. Menempuhnya dengan motor pasti akan sangat melelahkan.

Selama berada di dalam angkutan umum, perasaan Rania berangsur-angsur tenang. Rania nikmati perjalanan jauhnya sambil mengamati pemandangan di sisi jalanan. Begitu banyak manusia yang sibuk lalu lalang dan berbagai macam kendaraan yang berada di atas jalanan. Rania tersenyum tipis mengamati kesibukan pagi itu. Sepertinya tidak tinggal di rumah Alaric adalah pilihan terbaik. Dia tidak akan terganggu ataupun mengganggu perasaan suaminya. Dia akan sibuk seperti orang-orang yang dia amati pagi itu yang berjalan penuh semangat dan optimis.

Atau berpisah dari Alaric saja...
----

"Minum dulu, Ran..." ucap Sherly seraya meraih dua cangkir dari atas baki yang dibawa Greta. Bukannya prihatin mendengar keluhan Rania, dia malah senyum-senyum. Padahal Rania sambil menangis menceritakan penderitaannya dini hari tadi. Sampai dia tidak bisa tidur sejak kejadian itu.

Sherly lalu menyuruh Greta masuk kembali ke dalam kamarnya. Menurutnya Greta belum pantas mendengar cerita-cerita rumah tangga Rania yang sudah menyinggung wilayah ranjang.

"Memangnya kita harus mau begitu, Tan?"

Sherly mengangguk.

"Sakit, Tante. Tante nggak liat bibirku luka..."

"Nanti juga sembuh sendiri,"

"Aku nggak sanggup kalo tiap hari..."

"Yah. Nggak bakal tiap hari..."

Sherly tatap wajah sedih Rania.

"Itu justru pertanda baik. Tanpa dia sadari sepenuhnya, dia tau ke mana harus mencurahkan kekesalannya,"

"Emangnya dia kesal?"

"Lah kata kamu dia kayak marah waktu maksa kamu. Apalagi dia baru pulang dari kantor, belum tukar baju, langsung ke kamar kamu. Itu artinya dia sedang kesal. Mungkin karena lelah kerjaan kantor yang nggak selesai-selesai..."

Cinta RaniaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang