~ 2 ~

935 78 14
                                    

Selamat membaca

Vote dulu yuk

Marina merapatkan mantel yang ia kenakan saat berjalan memasuki salah satu gedung rumah sakit terbaik di Dubai. Suhu dingin di Dubai tidaklah main main. Beberapa kali Marina mengangguk mendengarkan briefing yang diberikan oleh salah satu personal asisten ayahnya.

Marina tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan kembali lagi ke tanah kelahirannya. Keluarga besarnya memang memilih Dubai sebagai tempat tinggal mereka walaupun mereka berdarah Indonesia.

Marina baru saja mengetahui bahwa neneknya sedang dalam kondisi kritis. Nenek terinfeksi virus langka yang mulai menggerogoti tubuhnya dan belum ada obatnya. Marina juga mendengar bahwa kakeknya terus menerus berada di dalam ruang ICU, sama sekali tidak mau jauh dari belahan jiwanya.

Dalam pembicaraan dengan Ayahnya tidak ada informasi detail apapun. Ayahnya hanya meminta Marina untuk pulang saat itu juga dan di depan apartemen sudah ada Jeslin yang merupakan salah satu pengawal di keluarga besarnya untuk menjemputnya.

Marina memiliki alasan tersendiri mengapa ia tidak mau membantah pinta ayahnya, itu semua karena rasa bersalah yang menderanya sejak ia lahir ke dunia ini. Bahkan masih sakit rasanya menginjakkan kaki ke negara ini.

Ada banyak alasan yang membuat Marina harus tinggal di Indonesia, terpisah jauh dari keluarga besarnya. Walaupun di Indonesia juga ada kerabat kakeknya yang menyandang nama keluarga yang sama dengannya. Namun Marina memilih untuk tidak menggunakan nama keluarga di Indonesia. Itu semua karena ia merasa menjadi sebuah beban jika menyandang nama keluarga besarnya yang terhormat.

Bukan karena aib orang tuanya ataupun aib dirinya sendiri tapi karena anugerah luar biasa yang ia warisi dari nenek buyutnya. Sayangnya anugrah itu kini menjadi sebuah kutukan bagi Marina.

"Hai Marina. Long time no see." sapa Elisa kakak Marina, adalah anak pertama.

"Halo kak Elis, Kak Wilmar, Kak Theo, Kak Ika, Kak Peter, dan Kak Leon." sapa Marina pada semua kakaknya yang sudah hadir terlebih dahulu.

Marina menatap ke 6 kakaknya yang tengah berkumpul di ruang tamu VIP. Tidak seperti beberapa keluarga besar yang mungkin akan bercanda dan bertegur sapa, keluarganya hanyalah sederetan penyetor muka dan pembual basa basi. Marina sungguh merasa malas berbasa basi dengan mereka. Hanya kak Elisa yang masih mau menyapanya dengan ramah seperti dulu kala.

Lima orang kakaknya yang lain hanya menatap Marina dengan pandangan sinis. Seolah keberadaannya adalah sebuah Kehinaan. Marina juga tidak membutuhkan pengakuan mereka.

"Hei kalian kenapa diam saja? Gak punya mulut atau bisu?" sarkas Elisa pada kelima adiknya yang hanya diam saja.

"Hai bungsu." ucap kelima orang itu.

Marina hanya mengangguk dan tersenyum tipis.

"Never mind kak Elis. Aku sungguh tidak peduli." ucap Marina.

"Cincin dengan batu bulan biru, hanya ada sedikit di dunia dan batu itu terdapat di dalam cincinmu. Kamu berhasil menyihirnya lelaki kaya mana supaya memberikannya padamu!" ucap Ika pada Marina dengan pandangan merendahkan.

"Jaga ucapanmu Ika. Kalian juga jaga sikap kalian. Kita bukan reuni arisan. Kita sedang berdoa untuk kesehatan nenek." Elisa memberi peringatan pada Ika dan adik adiknya yang lain.

Semua akhirmya terdiam. Suara pintu terbuka memecah keheningan di dalam ruangan itu. Seorang lelaki paruh baya menghampiri ketujuh bersaudara itu.

"Sudah tiba saatnya. Nenek kalian tidak dapat di selamatkan. Dia tidak bisa hidup tanpa alat. Dan kakek kalian memutuskan untuk melepas kepergian nenek. Marina, sekarang tugasmu untuk membebaskan sekutu kakekmu." ucap Baratha kepada anak anaknya.

Never Let Go [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang