~ 8 ~

454 50 8
                                    

Selamat membaca

Setelah Arya memperkenalkan diri pada ke 6 kakak Marina dan ditambah lagi disana juga ada Om kesayangan Marina yang bernama Wicaksana, Marina langsung memperkenalkan semua saudaranya dimulai dari Om Wicak, dan anaknya Nakula. Kemudian Marina memperkenalkan ke 6 kakaknya pada Arya. Perkenalan yang kaku dan canggung itupun dimulai dengan berbagai pertanyaan basa basi yang tentu saja terdengar remeh ditelinga Arya. Meski begitu, Arya tetap menjaga sikap dan menjawab pertanyaan tersebut. 

"Marina adalah bagian dari keluarga Wiratha, bagaimana menurutmu? Kamu masih merasa pantas untuk bersanding dengan Marina?" tanya Leon.

Ternyata setelah pertanyaan remeh yang mereka lontarkan, Arya di buat waspada dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh kakak lelakinya Marina yang bernama Leon. 

"Saya sangat mencintai Marina. Walaupun ada sesuatu hal yang tidak pernah saya duga bahwa Marina berasal dari keluarga yang sangat terpandang, dibandingkan dengan latar belakang keluarga saya yang tidaklah ada artinya dihadapan Wiratha. Namun meskipun saya hanyalah sebuah batu, saya memiliki sebuah nilai berharga  yang tidak dimiliki oleh keluarga Wiratha." ucap Arya dengan hati hati namun tetap percaya diri.

"Apa maksudmu dengan hal berharga itu?" tanya Wicak yang cukup tertarik dengan jawaban Arya.

"Untuk saat ini saya belum bisa memberitahu anda. Tapi saya bisa pastikan, tidak lama lagi anda akan mendengarnya langsung dari media massa." ucap Arya yang penuh dengan teka teki.

"Hem aku jadi penasaran." ucap Om wicak.

Marina membiarkan Arya yang menjawab semua pertanyaan. Dan ternyata semuanya dapat ditangani baik oleh calon suaminya ini. Ada tersirat rasa lega dalam hati Marina saat melihat saudara saudaranya merasa nyaman saat berbincang dengan mereka. Meskipun masih ada rasa kuatir apabila tiba saatnya mas Arya harus menghadapi papanya. 

Marina melirik sekilas pada tempat tidur dimana papanya terbaring dan masih tertidur dengan pulas. Arya menangkap kekuatiran di wajah Marina, walaupun sedari tadi Arya meladeni pertanyaan demi pertanyaan dengan serius, namun ia juga tetap memperhatikan Marina. Arya mengusap punggung tangan Marina dan membuat wanita itu menoleh padanya.

"Kamu ingin sesuatu?" tanya Arya dengan lembut.

Marina tersenyum dan menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin melihat kondisi papa." ucap Marina.

"Kamu bisa dekati papamu, mungkin papamu sudah sadar saat ini." ucap Arya.

"Ok mas. Aku temui papa ya, mas Arya gak apa apa kan disini masih lama?"

"Take your time honey. Jangan kuatir. panggil aku klo kamu perlu sesuatu." 

Marina mengangguk kemudian beranjak ke kursi yang terletak di sebelah ranjang papanya. Marina kemudian menggenggam tangan papanya.

Sementara Marina menemui papanya, Arya yang masih duduk di sofa dengan saudaranya Marina, tidak luput dari perbincangan selanjutnya yang mengarah kepada bisnis dan perkembangan teknologi. Untunglah semua itu masih dalam pengetahuan Arya, jadi sedikit banyak Arya dapat mengikuti pembicaraan para lelaki di ruangan itu. 

"Arya. Aku ingin dengar rencana kamu untuk masa depanmu dengan Marina. Aku dengar Marina saat ini sedang hamil. Kamu tidak akan membiarkan kandungan Marina sudah membesar saat kalian menikah kan?" Elisa yang sedari tadi terdiam, kini ikut angkat bicara.

"Saya memang sudah melamar Marina sebelum saya tahu dia hamil. Dan kami memang akan berencana menikah 4 bulan lagi. Namun karena Marina sudah mengandung, saya akan mempercepat pernikahan kami." ucap Arya.

"Dan maaf klo aku lancang, apakah kamu sudah tau kalau ada sebuah tradisi di keluarga kami tentang wanita yang berasal dari keluarga Wiratha, bila menikah dengan lelaki yang secara keuangan tidak sebanyak  keuangan keluarga Wiratha, maka nama belakang keturunan mereka harus menggunakan nama keluarga Wiratha?" tanya Elisa dengan serius.

"Jangan tersinggung. Karena kami memiliki alasan. Semua itu semata mata untuk melindungi keturunan Wiratha. Jika Marina melepaskan gelar Wiratha nya maka apapun hal buruk yang terjadi, kami tidak bisa ikut campur, kecuali dia mau memakai kembali gelar nama keluarga besarnya." ucap Kartika 

"Saya sudah tahu akan hal tersebut dan saya akan mengikuti apapun keputusan Marina. Walaupun demikian, saya tetap akan melindungi Marina dan calon bayi kami. Terima kasih karena sudah memperhatikan masa depan kami kak." ucap Arya.

"Syukurlah kalau seperti itu. Aku harap Marina bisa bijak untuk menentukan arah." ucap Elisa.

.....

"Marina." panggil Baratha dengan suara lirih.

"Iya pa, Marina di sini." 

"Aku haus." Marina langsung membantu papanya untuk duduk. Ia kemudian meraih gelas yang telah berisi air putih hangat.

"Ini pa. Pelan pelan minumnya." ucap Marina. Baratha minum dengan perlahan walaupun hanya sedikit. Tetapi sudah cukup untuk membasahi tenggorokannya.

Napas beratpun Baratha rasakan. Banyak hal yang ingin segera ia katakan pada putri bungsunya ini, namun ia tidak tahu harus memulai dari mana.

"Marina, mungkin.... kesalahan yang aku lakukan tidak akan pernah kamu maafkan. Setelah... sekian tahun...aku baru mengetahui betapa tidak becusnya aku sebagai suami maupun sebagai ayah.. uhuk,,uhuk..uhuk." Baratha berbicara dengan napas yang berat dan suara yang serak hingga akhirnya terbatuk. 

"Papa lain kali saja kita bicara. Saat ini papa fokus untuk pulih." ucap Marina sambil mengelus bahu papanya.

Baratha mengangguk, ia kemudian menoleh ke arah sofa, tempat anak - anaknya yang lain sedang berkumpul dan tampak berbincang dengan seseorang yang Baratha kenali. Ia kemudian kembali menoleh ke arah Marina.

"Marina.... Aku ingin bicara dengan tunanganmu." ucap Baratha lirih.

"Nanti ya pa. Kalau papa sudah dalam kondisi yang lebih baik. Saat ini Marina mohon, papa istirahat ya." ucap Marina.

Baratha hanya menghela napas dan mengikuti permintaan Marina. Memang benar, jangankan untuk berbicara, saat ini saja ia masih terasa sesak napas walaupun sudah dibantu selang oksigen. Baratha akhirnya memilih untuk mengamati dari balik kaca pembatas ruangan, sayup sayup ia mendengar pembicaraan anak anaknya dengan lelaki yang akan mejadi suami Marina. Tampak sepupunya Wicaksana berada di sana bersama Nakula sedang mengamati, seperti yang dirinya lakukan. 

Kamar VIP di rumah sakit Mitra Wiratha ini memang tergolong berbeda dengan ruang vip di rumah sakit lain. Di dalam ruangan itu ada kamar tidur pasien dan juga ruang tamu tunggu. Walaupun ada kaca geser sebagai pembatasnya, namun area tempat tidur dibuat kedap suara, sehingga saat diruang tamu ada yang berbicara, suara yang di dengar oleh pasien tidak begitu jelas. Tentu saja rancangan kamar seperti ini supaya pasien tidak terganggu dengan suara dari ruang tamu. 

Baratha kembali mengingat permintaan sepupunya itu yang ingin menjadikan Marina menjadi anaknya. Saat mengingat hal itu, Baratha lantas menoleh pada Marina. Ia kemudian memperhatikan anak bungsunya itu dan sebuah pikiran terlintas. Saat pikiran buruk itu datang, ia kembali terguncang, rasa sakit mendatangi hatinya, jika Marina mungkin akan lebih memilih menjadi anaknya Wicak daripada menjadi anaknya yang sepanjang hidupnya hanya menaruh kebencian pada putri kecilnya itu. Mata Baratha berkaca kaca memandangi Marina.

"Papa. Papa kenapa??!" Marina berusaha menenangkan tubuh papanya yang tiba-tiba kejang. Marina kemudian menoleh pada layar monitor yang terus berbunyi tanda bahaya. "Kak! Panggil dokter, kondisi papa drop lagi." teriak Marina dari dalam kamar. 

"Marina,, ja-jangan per-pernah.. tinggalkan,,..." Baratha tak mampu menyelesaikan kalimatnya, kegelapan telah merebut kesadarannya.

"Papa! Papa!"

..... BERSAMBUNG .....

PUBLISH : 19 08 2022

Never Let Go [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang