"Mau kemana?" Anan bertanya dengan nada datar, sedatar ekspresi wajahnya saat ini, ketika dia melihat War sudah bersiap-siap untuk pergi mandi.
"Mandi!" Satu kata dari War yang nyalinya langsung menciut dikarenakan tatapan mata Anan yang kurang bersahabat.
Anan berjalan mendekati War, dia menyentuh dahi War.
"Besok saja mandinya kalau sudah sembuh!" Ini perintah, bukan permintaan, dia membimbing tangan War untuk kembali ke ranjang.
"Tapi aku bau!" Sebenarnya War tidak mau mandi, dingin soalnya. Tapi dia tidak mau Anan kurang nyaman dengan aroma tubuhnya.
Anan menghela nafas, kesal dia.
Melihat tatapan mata Anan yang semakin tidak bersahabat membuat War menurut manut sekalipun Anan tidak merespon perkataannya. War naik keatas ranjang seraya menutupi sendiri tubuhnya dengan selimut.
Sekarang Anan sudah duduk di tepi ranjang, dia tatap War.
"Telepon tunanganmu! Dia di Bangkok kan?" Ucap Anan, dia bicara begini karena dia mau menjemput Perth selain itu ribet masalahnya jika orang tua War tahu kalau Anan masih berhubungan dengan War.
War menggeleng, dia tidak butuh tunangannya. Kalau dia butuh, sudah sedari tadi dia telepon.
Mata War mulai berkaca-kaca.
"Jangan pergi, War akan mengikuti semua perintah dan larangan Anan, jadi jangan pergi!" Pinta War tidak ingin Anan pergi.
Anan menghela nafas, posisinya menjadi serba salah.
"Kenapa baru sekarang kamu datang? Datang di saat aku sudah terbiasa hidup tanpamu! Kenapa waktu itu kamu tidak bisa datang? Aku menunggumu, menunggumu dan terus menunggumu!" Ungkap Anan serius yang tidak ada manis-manisnya.
Yah waktu itu dia menunggu War, sampai akhirnya dia masuk rumah sakit. Kala itu perjuangan Anan untuk tetap bersama War, terbilang tak ada logika, namun sayangnya hanya dia yang berjuang, War nya tidak. Sama seperti sekarang, hanya War yang berjuang, Anan nya tidak.
"Anan... Tidak bisakah kamu mengerti posisi ku waktu itu, aku..."
"Kalau aku mengerti, lalu apa? Apa hubungan kita akan tetap bertahan?" Sela Anan di saat kerongkongannya mulai terasa kering akibat menahan rasa sesak di dadanya.
Dan War sendiri, sudah basah mata cantiknya. Dia raih tangan kiri Anan dengan kedua tangannya, dia genggam erat. Sukanya dia dengan kehangatan tangan Anan.
"Tidak bisakah aku mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita? Please..." War sungguh ingin kembali ke sisi Anan, menjadi kekasihnya, seperti dulu.
Anan terdiam, dia bimbang. Haruskah dia menerima cinta War serta jadian lagi di saat War sudah berstatus sebagai tunangan seseorang. Kemudian dia apanya War? Selingkuhannya?
"Maaf War, sebaiknya kamu menelepon tunanganmu!" Ucap Anan seraya melepaskan genggaman tangan War. War menggeleng, dia sungguh tidak bisa, dia mencintai Anan.
Sebenarnya posisinya juga sulit waktu itu, sampai saat ini pun dia masih berada dalam kesulitan. Tunangan dia memang mengizinkan dia pergi tuk menemui Anan, dia izinkan War memperbaiki hubungannya dengan Anan, tapi hanya dalam waktu 30 hati, jika dalam waktu 30 hari War tidak bisa balikan dengan Anan, maka dia harus melupakan Anan dan menerima dirinya seutuhnya. Mungkin ini akan menjadi penyesalan terlambat bagi Anan jika dia pergi meninggalkan War sekarang.
"Anan..." Seru War sudah jatuh berderai air matanya di saat Anan sudah mau pergi, tangan Anan sudah memutar ganggang pintu.
Lalu War, otak dan hatinya berkecamuk, haruskah dia berakting pingsan supaya Anan tidak pergi? Haruskah, sepertinya harus di saat Anan sudah membuka pintu.