Pria Malang Paling Bahagia

3.4K 292 67
                                    

(Sakura)

Aku tak bisa berhenti tertawa ketika memerhatikan Sasuke yang terus-menerus merengut dan menyipitkan mata pada dua bocah kembar yang tak pernah lelah itu. Jonathan dan Jay. Putra kembar dari Itachi-nii, kakak Sasuke yang menikahi Kate –wanita yang berkebangsaan Inggris itu- tiba-tiba saja menjadi anak-anak dengan kepribadian dewasa yang menunjukkan secara terang-terangan ketidaksukaannya pada Sasuke.

Aku tak perlu berpikir keras untuk mengetahui bahwa Sasuke juga merasakan hal yang sama. Suamiku itu terbiasa disukai oleh orang-orang. Dan ia hampir tak pernah berada di situasi dimana perkataannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Tapi Jonathan, juga Jay jelas tak perlu berusaha keras untuk mengabaikan keberadaannya.

"This' not your room," desis Sasuke jengkel. "Move!" Tekannya lagi.

Aku memutar mata dan menempatkan diri di sebelah pintu kamar sembari menyilangkan dua lengan di depan dada. Tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam hal ini. Sasuke tak mungkin menyakiti anak-anak itu. Ia hanya kesal. Dan hal itu beralasan.

Jonathan dan Jay telah menginap di rumah kami sejak dua hari yang lalu. Itu tak menjadi masalah. Aku tahu yang membuat Sasuke jengkel adalah kenyataan bahwa dua bocah kembar itu menjadikan kamar kami sebagai tempat favorit mereka. Itu masalahnya. Sasuke cukup terang-terangan dengan keinginannya saat melihatku. Begitu pun aku terhadapnya. Ada waktu-waktu ketika aku begitu frustrasi dan ingin menariknya ke kamar lain di rumah ini.

Tapi dibanding Sasuke, aku lebih bisa menutupinya dengan baik, juga menahan diri. Lagipula aku sudah jatuh cinta setengah mati dengan si kembar ini.

"Why?" Seru Jonathan dalam bahasa inggris. "I like this room!"

"Yeah." Jay mengangguk, menyetujui. "look at those stars!" Ia menunjuk langit-langit kamar yang ditempeli stiker glow in the dark bertema langit malam lengkap dengan bulan dan bintang. "I want to be an astronaut. So this room's perfect for me."

"Jadilah astronot di tempat lain."

"Sasuke." Aku menggeleng. "Mereka baru empat tahun."

"Aku tahu," sahut Sasuke datar. "Untuk itulah aku ingin mereka tidur di kamar lain, Sakura."

"Mereka akan pulang besok." Aku kembali mencoba membujuk.

"Ya, tapi keinginanku tak bisa menunggu sampai besok, LAGI." Aku merasakan wajahku merona.

"Kau jadi pemarah," ujarku pelan.

"Setelah semuanya, Sakura. Aku yakin semua laki-laki di dunia ini akan setuju denganku."

Ia melempar tatapan jengkel pada Jonathan dan Jay yang mendengarkan percakapan kami dengan serius. Tapi dua anak itu sama sekali belum memahami bahasa Jepang.

Aku berjalan mendekat pada tiga pemilik mata kelam itu dan menempatkan diri di tengah ranjang secara menyamping. Mereka memerhatikanku dengan dua macam ekspresi yang berbeda. Si kembar terlihat tertarik untuk ikut berbaring bersamaku, sedangkan Sasuke nyaris mengeluarkan api dari kedua matanya.

"Ayo kita tidur," ujarku dan memejamkan mata. Tempat tidur berguncang beberapa kali dan aku merasakan satu lengan besar memelukku dari belakang. Satu lengan kecil melingkar di leherku dan lengan kecil lainnya mengapit kakiku.

Aku menghela napas.

Satu malam lagi dengan belitan-belitan yang tak bisa dilepaskan.

Sasuke di belakangku bernapas –sengaja bernapas keras. Ia menggerakkan lengannya yang memelukku semakin ke atas, terus ke atas.

"Sasuke." Aku menahan lengannya dengan satu tangan. "Tidur."

Terdengar dengusan dari belakangku. "Aku sedang melakukannya."

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang