There's no one like him

2.3K 338 23
                                    

"Aku sebenarnya tak ingin mengancam," gertakku. "Tapi aku akan berteriak, Sasuke. Aku sungguh-sungguh," ujarku melebih-lebihkan. Tatapanku turun pada bibirnya yang membuatku merutuki diri sendiri. Yah, ia memang tampan dan suaranya indah. Tapi semua penolakan yang aku lakukan tak ada hubungannya dengan tampilan fisik yang ia miliki. Aku hanya belum siap.

Ia mendengus. "Kita sudah sepakat kalau itu tak akan berguna sama sekali," katanya dengan nada mengejek. Hidung kami sudah bersentuhan. Sedikit gerakan dan bibir kami akan menempel. Aku merasakan tubuhku mulai bergidik mengingat beberapa adegan yang digambarkan dari novel-novel terjemahan kesayanganku. Buruknya, atau mungkin bagusnya, ada sedikit rasa mendamba memalukan yang mengharapkan hal-hal dalam niatan Sasuke benar-benar terjadi. Tapi rasa takut masih menjadi faktor utama kenapa aku harus menghentikan Sasuke.

Ia sudah berjanji akan menunggu tapi ia jelas sudah melupakan janjinya itu. Aku tahu tak akan bisa menghindari hal ini. Tidak bahkan walau aku memberontak sekuat tenaga. Tak ada yang bisa menghentikannya kecuali jika ia berubah pikiran. Namun Sasuke bukan orang yang mudah berubah pikiran.

Aku merasakan perubahan emosiku yang tadinya dipenuhi rasa takut berubah menjadi kemarahan ketika bibir kami menyatu dan terdiam beberapa detik sebelum ia mulai melumat. Aku menutup bibirku rapat-rapat, menutup mataku sama rapatnya dengan bibirku sendiri. Jika ia menginginkan semuanya sekarang juga aku akan memastikan bahwa ia akan merasakan bagaimana rasanya seolah bercinta dengan mayat.

Bibirnya menjauh. Bahkan dengan mata tertutup aku dapat merasakan bahwa ia sedang menatapku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan memberanikan diri membuka mata lalu membalas tatapannya sama tajamnya.

Mulutnya terbuka. "Dingin sekali," katanya datar.

Aku membuang muka. "Itulah yang akan kau dapatkan jika memaksakan kehendakmu padaku."

"Aku baru menyadarinya." Ia mendesis.

"Kau pria arogan yang tak bisa menepati janji," kataku tajam, kembali menatapnya.

"Aku berhenti," balasnya tenang.

Aku tertawa sinis. "Hanya karena kau tak mendapatkan respon yang kau inginkan," kataku dengan suara rendah. "Aku benci padamu."

Dahinya mengerut tak suka. "Kau benci padaku?" tanyanya seraya menempelkan bibirnya di rahangku. Aku tak bisa menebak apa yang sebenarnya ia pikirkan. Terus terang saja aku bahkan hampir tak bisa berpikir saat ini dengan bibirnya yang bergerak halus dan jemarinya yang panjang meremas pinggangku.

"Ya," sahutku dengan suara sedikit bergetar. "Aku baru saja memutuskan menjadikanmu orang yang paling aku benci. Aku setengah mati membencimu, Sasuke," ujarku sembari menekan gelenyar sifat pengecutku yang memaksa muncul ke permukaan. Aku merasa tubuhnya menegang. Ketika ia mengangkat kepalanya, aku melihat matanya menyipit.

Lalu ...

Ia menyeringai. Seringaian yang biasa ia tampilkan setelah berhasil membuatku kalang kabut. Aku mengumpat begitu memahami makna di balik seringaiannya.

"Sialan," umpatku untuk kesekian kali sambil mendorong dadanya. Aku tahu bahwa ia menjauh bukan karena aku mendorong tubuhnya tapi karena ia telah selesai dengan humor tak sehatnya. Aku bangkit dan duduk di pinggiran ranjang sambil menatapnya jengkel.

"Kau serius sekali," ujarnya sambil menaikkan satu alis.

"Pergilah ke neraka."

"Jangan marah begitu Sakura."

Aku memberinya pelototan tergarang seraya berdiri. "Sebaiknya aku pergi dari sini sekarang juga daripada meladeni orang sepertimu." Aku benci merasa seperti orang bodoh.

Just Married (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang