27. Memeluk Mawar

2.4K 321 28
                                    

Saat kabut pekat menenggelamkan seluruh ketenangan. Jiwa ini terusik, kapan kau menghilang? Kapan kau memudar? Tenggelam dalam hitam, tanpa tujuan dari pijakan. Sangatlah sulit.

---•••---

"Fardan sudah tidur?" aku mengangguk. "Sekarang tidurlah Fara, aku akan menjaga Fardan dari luar. Jika nanti bayimu menangis, aku akan mencoba menenangkannya."

"Apa kamu bisa, Mas?" tanyaku pelan, kualihkan tatapan padanya yang diam di ambang pintu enggan masuk melebihi batas.

"Akan aku usahakan untuk bisa karena sekarang, aku telah menjadi seorang ayah."

"Bahkan langkah kakimu saja, hanya sampai di pembatas pintu. Bagaimana caranya menghibur Fardan yang berada di dalam kamar?"

"Aku lewati. Demi Fardan."

"Dia bukan.... Putramu, Mas."

Keheningan tercipta setelah aku memperjelas. Kupandangi lagi wajah Fardan yang beradu dengan sakit dan sesak. Tenggorokan ini tercekat. "Bukan putraku juga."

Derap langkah kaki terdengar mendekat sehingga aku membeku. Kala terhenti dan menampakan wajah lelaki tampan itu tersenyum ke arah Fardan, jantungku berdebar kuat. Ia, mulai melewati batas bahkan sebelum putraku menangis.

"Apa yang kamu lakukan?"

"Melihat Fardan."

"Bukan itu?"

"Maaf, aku melewati batas."

"Aku mohon, pergilah sekarang Mas. Jangan masuk ke kamarku tanpa izin."

"Sekarang aku punya alasan untuk masuk Fara, jadi jangan khawatir."

"Mengkhawatirkanmu? Tentu tidak," saat senyumku terlihat, Mas Dareen memandangi.

"Lalu, siapa yang membuatmu merasa ketakutan?"

"Naina. Aku takut dia salah paham lagi denganku lalu mengusirku dari sini. Aku tak punya kekuasaan untuk melawan Mas."

"Kamu punya aku," titahnya. "Lagi pula, Naina sudah salah paham saat kamu datang dan menjadi istri keduaku. Apa kamu tak pernah merasa bagaimana halusnya Naina mengusirmu dari sini?"

Debaran lagi. Ia datang mengguncang jantung ini sekali lagi. Tolong untuk sekarang jangan menambah pikiranku, rasanya sudah sangat lelah terus berdebat dengan pikiran sendiri.

"Aku mau istirahat. Keluarlah Mas-"

"Kamu tahu tetapi pura-pura tak tahu. Mencari jawaban sendiri di dalam otakmu yang berakhir salah juga. Mungkin saja apa yang selama ini kamu utarakan benar kenyataannya, Fara, tetapi sikap seseorang mengubah segala hal dengan sangat cepat. Satu lagi, yakini saja tentang perasaanku-"

"Tidak," kujawab cepat lalu bangkit memandangi dirinya. "Jangan membahas perasaan apa pun karena itu sesuatu yang tak akan aku percayai. Jangan usik kehidupanku, jangan hancurkan Naina. Sudah cukup semuanya. Kamu dan aku tak ada lagi perjanjian yang membuat kita terikat. Ingat katamu Mas, aku hanya orang asing bahkan dari dulu."

"Maaf, aku terlalu plin plan untuk diri sendiri. Ingin menggapaimu seperti memeluk mawar berduri. Semakin dalam semakin terluka."

Darahku berdesir. "Apa yang kamu katakan baru saja, Mas?" semua yang kudengar sungguh tak asing. Aku pernah membaca beberapa kalimat serupa di rumah Bu Ira. Apa maksudnya ini?

"Yang mana?" Mas Dareen bertanya acuh.

"Tentang mawar?"

"Kalimat seperti itu banyak yang mengatakannya. Dan aku sering membaca tulisan yang sama di dalam buku. Istirahatlah, aku akan menemani kamu di luar. Aku duduk di depan, jangan khawatir."

Noda Siapa? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang