14. Membakar Tubuhku

2.9K 374 23
                                    

Tak ada yang salah dari caramu berucap. Yang salah, saat kamu mengatakan segala hal berdasarkan kebohongan.

---•••---

Aku menoleh, meneliti ruat wajah Jeni sekilas lalu melangkah masuk mengurung diri di kamar. Meskipun kami tak bertatap mata, helaan napas yang sengaja ia keluarkan seolah menjadi bukti bahwa wanita itu merasa lelah.

Kubanting pintu cukup keras bersamaan dengan perih yang tergores kian menganga. Aku seharusnya sadar diri bahwa tak boleh melakukan ini di rumah orang lain. Namun, siapa yang bisa menghentikan gejolak amarah yang terus mengurung.

Saat aku terduduk di atas ranjang, kuraih benda pipih yang tergeletak setelah dihubungi Mas Dareen beberapa menit yang lalu. Panggilan keluar dari Bu Ira kupandangi lekat-lekat, ingin menghubungi tapi takut menganggu.

Diam aku dalam lamunan panjang. Teringat lagi ucapan Jeni yang menusuk hati, kenapa orang yang baru saja datang sudah berhasil memberikan bekas luka yang abadi di dalam dadaku. Pedih, tuduhan itu membuatku terasa seperti sampah.

Aku hapus semua keraguan dan kubiarkan ego merasuki untuk menelfon Bu Ira. Saat ponsel itu tersambung...

"Hallo, assalamualaikum Nak."

"Waalaikumsalam," begitu cepat Bu Ira mengangkat seolah ia menunggu panggilanku.

"Ada apa?"  tanyanya saat aku tak bersuara.

"Aku menganggu Ibu lagi ya. Maaf."

"Tidak Nak. Sama sekali tidak. Kamu merindukan Ibu?"

"Iya. Aku sangat merindukan Ibu. Apa boleh aku kembali ke sana?" hening. Pertanyaanku tak mendapatkan respon dari Bu Ira. Ia seolah membisu dibalik sana.

"Ibu."

"Fara. Sekarang kamu belum bisa ke sini Nak. Nanti ya, jika perlu Ibu yang akan menjemputmu untuk kembali."

"Nanti," batinku. Kenapa harus nanti jika saat sekarang ini aku benar-benar butuh rumah untuk berlindung. Tempat ini seperti panggung besar dengan orang-orang bertopeng yang ingin menjeratku agar masuk lebih dalam. Semakin lama semakin menakutkan.

"Fara. Kamu masih di sana?"

"Fara masih di sini Bu," jawabku lirih.

"Apa ada yang akan kamu sampaikan Nak? Kenapa dengan suara pelan itu? Kamu sakit?"

Pertanyaan yang terdengar panik membuatku ikut merasakan sakit. Haruskah aku memberikan keresahan kepada orang lain tentang resahku? Apa itu tidak terlalu kejam?

"Fara, jawab Ibu?"

"Bu. Aku ingin pulang."

Akhirnya kata-kata itu terlontar begitu saja. Meski kutekan dada yang berdetak tak henti, sesaknya justru menyakiti. Aku tak lagi bisa bersembunyi dibalik rasa lelah ini, semakin tersimpan dan menumpuk semakin sulitku bernapas dan hidup.

"Ibu... Orang yang baru kukenal menyebutku penghancur. Naina yang selalu menarikku ke dalam teka-teki tak berujung. Sedangkan Mama Tiara, memberi isyarat dengan tanda hitam pekat."

"Tempat ini asing. Tempat ini berisik. Mereka beradu pendapat denganku tetapi selalu aku yang kalah dan mengalah. Jika awal dari pelukan itu menghangatkan, sekarang perlahan-lahan membakar tubuhku Ibu."

"Fara Ya Allah, tolong jawab Ibu Nak? Mereka menyakitimu? Mereka berteriak ke arahmu? Mereka melukai fisikmu? Tolong beritahu Ibu Fara?"

"Tidak Bu," jawabku cepat. Menunduk aku dalam-dalam lalu kembali mengangkat wajah. "Maaf, aku tak seharusnya memberitahu Ibu semuanya. Tolong jangan khawatirkan aku_"

"Dareen, bagaimana dengannya. Apa dia tahu tentang resahmu? Kamu tak memberitahu dia Fara?"

"Dia sumbernya Ibu."

"Fara. Ibu tak mengerti Nak. Apa maksudmu?"

Cukup sudah. Aku tak bisa lagi berbohong kepada Bu Ira. Mungkin ia lah orang yang harus kuberitahu segalanya, karena hanya Bu Ira yang bisa kupercaya.

"Mas Dareen memintaku untuk tetap di sini Bu, tinggal dengannya dan Naina."

"Lalu apa yang salah Fara. Dia melakukan tugasnya menjagamu dan bayi itu Nak. Setelah itu Dareen_"

"Maksudku, dia tak ingin aku pergi meskipun bayi ini telah lahir."

"Itu artinya Dareen_"

"Mencintaiku Bu," balasku singkat.

"M-mencintai? Ibu tak salah dengarkan Ra?"

Aku menenangkan diri. Kulepas segala hal yang beruntun menerjang, rasa gelisah dan takut membuatku terombang. Bagaimana ini, semuanya terucap dari bibirku kepada Bu Ira. Aku harus apa?

"Nak Fara,"  panggilnya. Aku termangu.

"Fara."

Aku terkesiap mendengar ketukan pintu dan suara yang jelas dari Naina. Sekali lagi otakku berputar untuk berpikir, apa Naina mendengar ucapanku baru saja?

"Fara, apa kamu bisa keluar sebentar? Sebentar aja Ra," pintanya.

"Iya," teriakku lalu berpamitan kepada Bu Ira tanpa membalas pertanyaan darinya. Saat ini, entah apa yang akan wanita tua itu pikiran tentang Mas Dareen dan aku. Atau, Bu Ira sama kagetnya dengan kenyataan tak masuk akal ini.

Perlahan aku menyingkapi pintu kamar cukup pelan. Melihat Naina dan Jeni di sebelahnya. Wajah kedua wanita itu berubah sendu.

"Fara. Maaf, aku mengatakan kalimat yang benar-benar menyakitimu. Naina sahabat karibku dari lama, mendengar dirinya dimadu membuatku marah. Aku bahkan belum tahu keseluruhan ceritamu dan kejadian pahit yang menimpa dirimu tetapi sudah berani sekali menyimpulkannya sendiri. Sekali lagi tolong maafkan aku."

Jeni mengatakannya dengan nada yang sangat rendah, gurat yang meneduh dan tatap gusar netra itu kenapa seperti bukan sebuah penyesalan. Aku yang salah dalam memandangi, hatiku yang rusak dalam menilai, atau memang semua ini hanya omong kosong dan kebohongan belaka.

"Fara," kali ini ia meraih jemariku lalu mengusapnya. "Aku mendengarkan cerita pedihmu dari Naina baru saja. Sebenarnya, Naina tak ingin membahas karena takut kamu kecewa lalu tak mempercayai dirinya. Tetapi, karena kesalahpahaman baru saja membuat dia memberanikan diri untuk jujur padaku."

"Sekarang aku merasa seperti seorang sampah," sentaknya dengan nada yang meninggi. Dari isakkan yang terdengar namun tak meloloskan air matanya, membuatku mulai meragukan segalanya. "Bagaimana mungkin aku bisa mengucapkan kata-kata begitu kejam kepada wanita malang ini. Ya Allah, tolong ampuni aku."

Benar-benar panggung sandiwara. Sekarang, apa yang ia usap, pipinya yang kering atau senyum tipis yang tersembunyi.

"Kamu mau memaafkanku Fara?"

Melangkah aku mempertipis jarak ke arah Jeni. Jemari ini terangkat lalu mengusap wajahnya yang kering.

"Kamu menangis?" tanyaku. Jeni tak berpikir dua kali untuk memberikan anggukan. Di sana senyumku terangkat.

"Mana air matamu Jeni?"

Mereka berdua saling pandang seolah terjebak dengan pertanyaan yang kubuat. Naina menggeleng pelan sedangkan Jeni melirik seolah memberikan isyarat.

"Aku baru saja menghapusnya Ra," jawab Jeni setelah ia menoleh kembali kepadaku. "K-kenapa memangnya dengan air mataku? Ada yang salah?" tanya Jeni gugup sembari menyentuh wajahnya sekali lagi dengan gerakan takut-takut.

"Tak ada yang salah," balasku pelan. Lagi, Naina memandangiku dengan tatapan tak biasa. Saat aku menunduk menelisik lantai, helaan panjang kukeluarkan lalu tertawa tak tampak.

Di sana aku bilang. "Yang salah saat kalian mencoba berpura-pura untuk bersedih."

"Fara_"

"Menangis tanpa suara itu sakit Jeni. Tapi, tertawa dalam kepedihan jauh lebih sakit. Kamu belum pernah mengalaminya, kan?"

---•••---

Noda Siapa? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang