21. Cintai Aku

2.7K 334 15
                                    

Semakin kucerna setiap untaian kata di sana, debaran sakit justru datang mengikuti. Apa dan kenapa?

---•••---

Kualihkan tatapan saat Bu Ira tak mampu berucap, jemari yang semula ia genggam aku lepas sembari menenangkan hati dengan detakan yang memburu hebat.

"Maaf Bu, aku dengan lancangnya menuduh orang-orang yang mau menampungku di sana, aku meneriakinya, aku marah, aku memberontak. Padahal, mereka datang untuk menyelamatkanku dari tatapan kejam yang mengusik," mataku menatap keluar pintu yang sedikit tersingkap, ada banyak mata dan untaian kata yang terdengar berbisik.

Kembali kupandangi Bu Ira. "Tak bolehkah aku pergi Bu, tak bolehkah aku menjauh dari tempat ini?"

"Tapi ke mana?" tanyaku sekali lagi, seolah hilang kewarasanku di sana, bertanya bahkan menjawabnya sendiri.

"Fara..." panggilan Bu Ira terjeda dan aku memperhatikannya dalam-dalam. "Fara mau pergi ke mana?"

"Sejauh mungkin, jauh dari dunia kejam ini."

"Di mana tempat itu nak? Di mana kita bisa menemukannya?"

"Kematian."

Tangisan Bu Ira terpecah, menunduk ia dengan isakan yang terdengar sangat jelas, aku mengerti dari tadi pandangan netra meneduh itu tahu arah dan maksud pembicaraanku, namun ia terus mencari tahu lebih jelas hingga berakhir sama.

"Tidak nak," pelan dan terdengar lirih Bu Ira menjawab. "Bukan itu tempat yang akan membawamu ke dalam perasaan tenang Fara."

"Tak ada tempat lagi Bu, bahkan rumah ini tak lagi mau menampungku."

"Enggak," ia menggeleng. "Rumah ini selalu terbuka lebar untukmu," ujar Bu Ira sembari mengangkat wajah. "Tak ada yang boleh melarangmu ke sini, mereka tak berhak tentangmu nak."

"Lalu kenapa aku tak diizinkan untuk menetap di sini Bu?"

"Karena kamu sudah terikat dengan Dareen Fara," Bu Ira bangkit dari duduk, melangkah ia mendekat lalu mendekap erat bahuku. "Setelah bayi kamu lahir, datanglah ke sini nak, Ibu akan menjadikanmu putri satu-satunya."

Bibirku bergetar, tangisan kutahan sehingga tenggorokan ini seakan terlilit tali, begitu menyakitkan, begitu pedih. Dari mana datangnya malaikat ini, kenapa setiap ia berucap aku menemukan ketenangan dalam jiwa, luluh semua amarah dan hilang kebencian yang sedari tadi mengguncang.

"Fara, Ibu sudah memasakan kamu soto, kamu mau?"

Aku mengangguk cepat dan Ibu juga tergesa melangkah sehingga bisa kutatap punggungnya menjauh, di sanalah air mata yang sedari tadi menumpuk terlepas, meluncur deras bersama rasa sesak mengurung ragaku.

Maafkan aku yang lemah ini. Maafkan aku yang selalu menangis di setiap masalah datang, bukannya mencari jalan keluar aku justru mengadu dan meminta, inilah kesendirian yang teramat memilukan, tak ada keluarga bahkan saudara yang akan menjadi pegangan kala diri ini melangkah.

Belas kasih orang lain, masih membuatku gamang.

"Ibu tahu kamu sangat menyukai soto, dan saat Dareen menelfon kalau dia akan membawa kamu ke sini, Ibu langsung membuatnya pagi-pagi sekali."

"Mas Dareen?"

"Iya, dia menelfon Ibu semalam."

"Apa tak ada lagi yang dia bicarakan selain mengantarkanku ke sini Bu?" tanyaku, Bu Ira menggeleng, ia meletakan soto tadi di hadapanku lalu mengulurkan jemarinya untuk mengusap lelehan yang masih belum mengering seutuhnya.

"Jangan menangis lagi Fara, kasian bayi yang tak berdosa itu," ucap Bu Ira, aku hanya mengangguk sembari menyendok soto yang dibuatkan Bu Ira, anggap saja ini soto yang belum sempat kumakan lantaran perdebatan yang terjadi antara aku dan Naina tempo hari.

"Enak?"

"Sangat enak Bu," jawabku terbata. Sangat sulit menikmati makan sambil menahan tangisan, sungguh sangat sulit sekali.

Puncak kepalaku terasa hangat saat Bu Ira mengusapnya penuh kelembutan.

"Ibu satu di antara ribuan orang yang sangat menyayangimu Fara, jangan khawatir."

"Ibu satu di antara ribuan orang yang ingin menjagamu nak," tambahnya.

"Ibu," panggilku, Bu Ira mengangguk.

"Iya, kenapa?"

"Kasih sayang dari satu orang yaitu Ibu, melebihi keindahan seribu orang yang mungkin akan datang," jawaban yang kubentuk dengan senyum tipis membuat Bu Ira tertegun. "Dijaga oleh satu orang yaitu Ibu, lebih aman dari pada seribu orang yang akan datang. Percayalah Bu, tak ada keindahan selain berada di sampingmu seperti sekarang ini."

"Untuk itu, tetaplah bersamaku Bu, jangan ikut pergi dan meninggalkan aku sendirian."

Kulihat Ibu menggeleng dengan kencang, sesekali ia mengangguk lalu menyentuh kedua wajahku sehingga kehangatan tercipta di sela isak tangis.

"Selama Ibu masih bernapas nak, Ibu tak akan pernah meninggalkan kamu," jawab Ibu dengan sangat menenangkan pikiranku.

"Cintai aku," dalam tunduk aku berucap lirih. "Tolong berikan aku cinta itu Ibu."

---•••---

"Bu, sudah lama sekali aku tak melihat bunga di belakang rumah ini, aku rindu menatapnya dari jendela," aku memandangi taman kecil dengan berbagai macam berwarna yang tumbuh makin banyak di sana, aku yakin Bu Ira memberikan mereka air setiap hari sehingga tampak sangat subur.

"Kan kamu sudah melihatnya nak, pandangi sepuasmu Ra sebelum Dareen datang," ucap Bu Ira yang terdengar cukup kuat dari depan, sedangkan aku masih berdiri menatap keluar.

Dalam keheningan dan sedikit ketenangan, sorot mataku teralih, memperhatikan semua yang masih tersusun rapi seperti dulu, kamar yang menemani air mata dan membalut ketakutanku masih sama tak ada yang berubah.

Hingga kuhentikan tatapan kepada benda kecil yang semula tak pernah ada sebelumnya. Melangkah aku mendekat lalu meraih satu cincin polos yang terletak di antara alat make up, kupandangi dengan lekat sedikit kebingungan.

"Ini cincin siapa? Apakah Mas Rendy anaknya Bu Ira?" aku bertanya dan menjawab sendirian, semakin kukernyitkan dahiku bingung kala secarik kertas sengaja terlipat di sana.

Dalam keadaan ragu dan gusar aku mencoba meraihnya, apakah aku yang meletakkan ini lalu aku lupa, tapi aku tak ingat bahwa diri ini memiliki cincin.

Kertas sedikit robek di antara ujungnya kubuka pelan, dalam hening aku tersenyum hangat membaca untaian kata indah yang berada di sana.

"Kau seperti mawar merah yang selalu ingin kugapai, tetapi aku sadar, mendekatimu akan mendapatkan sebuah luka, diam dalam hening pun pikiran ini memberontak tak tenang."

"Pada akhirnya firasat hati selalu bertolak belakang dengan imajinasi yang menumpuk di dalam otak. Aku menggapaimu dengan cara memberimu luka, tetapi tanpa sadar tubuhku juga tersayat hancur."

"Maaf. Bunuh saja aku. Hukum aku. Jangan mengampuniku_"

Tiba-tiba jantung ini berdetak, kuremat erat kertas putih tadi hingga tak terbentuk, semakin kubaca untaian kata di dalam sana semakin mengejutkan sekali arti yang bisa kucerna. Siapa yang menulis kepedihan hatinya di sini? Siapakah orang ini.

"Fara," panggilan Bu Ira membuatku terkejut begitu dahsyat.

"I-iya Bu."

"Suamimu telah datang nak."

---•••---

Noda Siapa? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang