Ada banyak titik terbuka yang sengaja ditiadakan, ada banyak celah yang selalu ditutupi, ada beribu kesalahan yang tak bisa diungkap.
---•••---
Kutatap satu persatu mereka yang mulai keluar menampakan diri, menyoroti diriku dengan kilatan menajam setelah mobil Mas Dareen berhenti di halaman rumah Bu Ira. Berbeda dengan wanita tua itu, ia menyambutku penuh haru dan sinar kebahagiaan, tertawa ia lalu merentangkan tangannya untuk memeluk.
Aku melangkah tergesa, mengabaikan mereka bahkan Mas Dareen yang sekarang masih berdiri di samping mobilnya, kupercepat langkah mendekat lalu kudekap erat tubuh kurus itu.
"Ibu, Fara rindu, Fara merindukanmu Ibu," setetes air mata yang tak ingin kubuang justru terjatuh, semakin lama semakin terisak deras bahkan tak mampu kuseka, semua seolah tercurah dengan air mata, semua seolah dibicarakan oleh tangisan.
Punggungku ditepuk lembut olehnya. "Ibu juga rindu sama Fara Nak," jawab Bu Ira lirih. "Sudah, jangan menangis ya, ada Ibu di sini."
Aku mengangguk lalu mengusap dengan pelan lelehan itu, menoleh diri ini memandangi Mas Dareen yang tengah menyalami Bu Ira.
"Kamu mau ke kantor sekarang Mas?" tanyaku, lelaki itu mengangguk.
"Fara, suruh dulu suamimu masuk, buatkan teh untuknya."
"Lain kali aja Bi, Dareen sudah sangat telat," ia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu kembali menatap Bu Ira. "Nanti sore Dareen jemput Fara, tolong jaga istri Dareen ya Bi," ucapnya sungguh tenang, Bu ira mengangguk.
Aku tak terperdaya, aku hanya terkesiap setelah mendengar tutur kata super pelan dan sangat menenangkan darinya, sungguh, begitu banyakkah muka yang ia simpan namun belum bisa ia keluarkan untuk saat ini?
"Fara, ayo masuk."
Aku mengangguk. Setelah sekian lama akhirnya aku kembali ke sini, rumah super sederhana namun menyenangkan. Tempat berpahat kayu yang sangat amat damai, kutatap meja yang masih utuh kursinya, bingkai foto kecil yang selalu kurapikan masih tertera tak berubah, sejenak aku berpikir, apakah benar ada tamu di rumah ini setelah aku pergi, lalu kenapa tak ada setitik tanda kedatangan siapa pun, apakah Bu Ira telah merapikan semuanya.
"Ibu buatkan kamu teh ya Nak, kamu duduk aja dulu."
"Bu, tak usah repot-repot, aku bisa membuatnya sendiri."
"Sekarang kamu tamu Ibu, dan Ibu yang akan melayani kamu," jawab Bu Ira sembari tersenyum hangat, kubalas dengan tawa kecil yang tulus.
"Maaf ya Ra, Ibu tak pernah datang berkunjung ke sana, Ibu terlalu sibuk akhir-akhir ini."
Wanita itu duduk di hadapanku dengan gurat yang tampak sangat menyesal, ia juga meletakan teh panas dengan sangat hati-hati. Aku meraih jemarinya dan kugenggam.
"Gak papa Bu, kitakan bisa mengobrol lewat sambungan telefon, oh iya Bu, di mana putra Ibu?"
"Dia..."
Ada jeda saat Ibu berucap, bahkan senyum yang semula tampak cerah seolah dihujami kabut mendung, kilatan dengan perasaan lelah terbentuk, entah hanya perasaanku saja atau memang seperti inilah nyatanya.
"Dia pergi ke rumah istrinya Fara," sambung Bu Ira sejenak terhenti.
"Oh, apa Ibu libur jualan karena kedatanganku?"
"Tidak Nak, Ibu tak lagi menjual sembako, semua kebutuhan Ibu sudah tercukupi."
"Karena Mas Rendy?"
Bu Ira mengangguk.
"Fara," panggilnya pelan, aku mendongak menatap.
"Apa ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan?"
Aku mengangguk tanpa ragu. "Banyak sekali Bu, tetapi bolehkah aku memulai dari Mas Dareen?"
"Boleh, ada apa?"
"Tolong jangan memberitahukan segala hal tentang Fara kepadanya Bu, Fara tak ingin terlibat lebih jauh dengannya," ucapku pilu, justru Bu Ira memandangi dengan tatapan sangat bingung.
"Ibu? Tidak Nak, Dareen yang datang ke sini lalu menanyakan segala hal tentangmu, kesukaan bahkan semua yang kamu benci. Ibu senang waktu itu ketika dia membahas kamu, dan dengan sukarela Ibu menjelaskan agar Dareen bisa mengerti tanpa harus bertanya dulu padamu."
Aku tertegun begitu hebat, dugaanku tak pernah salah, dan aku tak menuduh dia yang tidak-tidak, Mas Dareenlah yang datang sendiri karena ingin tahu segalanya tentangku, lalu kenapa ia malah mengatakan sebaliknya di depan Naina, sebenarnya, siapa lelaki yang saat ini menjelma menjadi malaikat pelindungku, apakah aku salah, apakah dia monster yang sesungguhnya.
"Ibu ingat satu hal Nak, saat kamu menelfon Ibu dan mengatakan bahwa Dareen memintamu untuk tetap tinggal, sebenarnya apa yang terjadi?"
"Itu benar Bu, dia memintaku tetap berada di sana meskipun bayi ini telah lahir, bahkan setelah ia mengatakan kalimat yang membuatku bingung, dia justru menjelaskan perasaanya padaku, dia bilang sudah mencintaiku dari lama."
Aku meraih lagi jemari Bu Ira yang ia letakkan di meja, kugenggam lagi dengan sangat erat. "Bu, kapan dia melihatku, apa sebelumnya aku pernah bertatap muka dengan Mas Dareen, dan di mana Ibu mengenalnya? Apakah Ibu sudah sangat tahu seperti apa dia dan keluarganya?"
"Tidak satupun yang benar di sana Bu, mereka memiliki topeng tak kasat mata, satupun dari mereka tak bisa kupercayai, bahkan, aku mulai meragukan diriku sendiri apakah aku yang sesungguhnya orang jahat."
Tanpa jeda kuberucap kepada Bu Ira, dengan sangat dalam tatapan kami beradu dan debaran kuat kuhentikan dengan menahan napas, sesak dan sakit berpacu mana yang justru menang, dan sekarang saat semua itu menghantam aku mulai merasa goyah.
"Ya Allah Fara, mereka semua orang baik Nak, Ibu mengenal keluarga Dareen, Ibu juga tahu siapa keluarga Naina, bahkan istri dari Dareen sungguh sangat baik dan lembut, kenapa Ibu mau melepaskan kamu kepadanya, lantaran mereka sungguh menghargai Ibu yang sangat sederhana ini."
"Lantas, akulah orang jahat di sana Ibu."
"Tidak, Ibu tak mengatakan itu," helaan napas panjang terbuang saat Bu Ira memperhatikan diriku, ia juga semakin memperkuat genggaman hingga kehangatan menutupi lelah diri ini.
"Kamu tidak jahat Nak," ucap Ibu memelan, suaranya mulai sendu dan air mata menetes tiba-tiba. "Kamu terlalu disakiti oleh takdir dan selalu bertemu dengan orang-orang jahat selama ini, rasa trauma membuat kamu tak mempercayai bahwa mereka semua baik, Fara, lepaskan apa yang mengurung hatimu, buang semua keresahan yang membelenggu dalam jiwamu, coba terima mereka dengan perasaan yang lapang Nak, tolong yakini lagi diri kamu, bahwa topeng yang kamu tatap hanya ilusi semata."
Aku menggeleng dengan sangat pilu, kuusap lelehan yang membanjiri wajah Bu Ira dan lagi-lagi aku menggeleng.
"Enggak Bu, aku tahu mereka semua berbohong, mereka selalu melempar kesalahan satu sama lain namun berujung kepada diri ini yang tak mengetahui apa-apa, mereka berdebat dengan cerita masing-masing lalu berakhir kepadaku. Bagaimana bisa aku meyakini semua ini hanya ilusi semata, sungguh sangat nyata yang tak bisa ditiadakan Ibu."
"Mereka semua tokoh di dalam panggung drama yang saat ini aku huni Bu."
"Tolong percayalah."
---•••---
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Siapa? [END]
Historia CortaNamaku Fara Kailee, wanita cantik yang malang, kata orang. Bagaimana tidak, hidup di antara hiruk pikuk kehancuran membuatku ingin melenyapkan nyawa ini di dalam lembah kematian. Aku datang sendiri, tetapi pulang membawa satu lagi nyawa. Entah siapa...