9. Bermain Perasaan

3.7K 409 19
                                    

Jangan bermain-main dengan perasaan jika didalam sana hanya ada kekosongan!

---•••---

Dalam diam aku terus berpikir. Dibagian mana yang salah, ucapan Mama atau hatiku. Banyak cerita yang tak harus aku tahu, banyak masalah dan aku tak perlu terlibat didalamnya. Namun, semakin cepat waktu berputar dan hari berganti, semua seakan memaksaku untuk masuk kedalam kehidupan ini.

Kalimat terakhir yang kudengar, berhasil membuatku menyimpulkan satu kenyataan yang aku harap ini salah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam," aku beranjak dari duduk untuk membukakan pintu. Sekarang sudah jam delapan malam, jam biasanya Mas Dareen pulang. Saat pintu itu tersingkap, ia sendirian, tak ada Naina yang ikut bersamanya.

"Naina mana Mas?"

"Naina tak pulang malam ini Ra, dia masih menemani Mamanya di rumah sakit."

Aku terbelalak kaget. Apa maksud Naina tak pulang, dia membiarkan aku dan Mas Dareen berduaan di rumah.

"Kita hanya berdua_"

"Kamu tenang aja Fara, aku tak akan macam-macam. Aku bukan lelaki brengsek," ucapnya. "Nih, aku membelikan kamu ponsel."

Tangan Mas Dareen terulur, ia memberikan ponsel berwarna hitam ke arahku.

"Sudah ada nomor Bi Ira didalamnya. Ada nomor aku juga," tambahnya, lalu melangkah kedalam kamar.

Kutatap dengan teliti benda pipih itu. Ada kengiluan yang menjalar semakin menyesakkan dada. Teringat lagi kejadian yang membuatku tak ingin ke sana hanya untuk mencari ponsel yang mungkin saja terjatuh. Terlalu sakit rasanya, sehingga tak masalah jika harus kehilangan satu-satunya peninggalan dari Ibu Panti.

"Fara. Jam berapa Mama balik?"

Aku menoleh. Mas Dareen keluar setelah ia mengganti pakaian dengan kaus biasa.

"Habis magrib," jawabku.

"Mama cerita apa aja sama kamu Ra?"

"Gak ada."

Kudengar derap kaki melangkah mendekat. Bisa dipastikan itu Mas Dareen, saat belum sempat berbalik badan dia telah sampai di hadapanku.

"Gak mungkin Mama tak bercerita apapun sama kamu Fara. Dia di sini bahkan lebih dari sepuluh jam."

Aku mendongak. Memang, mana mungkin kami diam selama itu tanpa bertegur sapa. Tapi masalahnya, kenapa dia harus tahu semua pembicaraan Mamanya terhadapku.

"Sebenarnya ada banyak yang Mama bahas. Dan dalam pembahasan itu, aku tak punya hak untuk membaginya denganmu."

"Fara. Apa maksud kamu? Apa ada sesuatu yang Mama bicarakan?"

Aku menggeleng ragu. "Gak Ad_"

"Jangan berbohong Fara. Wajahmu tampak pucat," potong Mas Dareen. Aku termangu. Kuhela napas panjang sebelum menatap maniknya dengan lekat.

"Aku tak suka dengan kebohongan Fara!"

Aku tersenyum remeh. "Iya, kita membicarakan sesuatu yang salah."

"Maksud kamu?"

"Lancang sekali kamu memohon untuk menikahiku dan memberikan harapan baru kepada Mama Mas. Seolah-olah cinta itu memang ada untukku. Nyatanya, tidak sama sekali."

"Aku memang mencintaimu Fara, permohonanku kepada Mama tulus dari hati aku."

"Enggak Mas. Kamu mencintai Naina melebihi apapun di dunia ini," aku memberanikan diri mendekat. Kulihat dengan sangat dalam gurat aneh yang tercetak di balik bola matanya. "Jujur Mas. Apa yang di katakan Naina? Jaminan apa yang akan kamu dapatkan jika permohonan dari Naina terkabul?"

"Aku gak mengerti Fara?"

"Jangan berbohong," sentakku. Sudah cukup lelah aku memikirkan ini seharian. Sehingga pikiran lain datang begitu saja setelah Mama berucap yang jelas tak masuk akal bagiku. Cukup pusing semua kepura-puraan ini bermain di dalam kehidupanku. Sekarang tidak lagi, biarkan saja dunia menipuku, asalkan jangan manusia.

"Istirahatlah Fara, aku akan menunggu di depan pintu sampai kamu terlelap."

Setelah ucapan itu keluar dari mulut Mas Dareen dia mulai melangkah. Secepat kilat aku berbalik menatap punggungnya.

"Dugaanku benar rupanya," langkah Mas Dareen terhenti. "Naina berbicara banyak tentangku kepadamu Mas. Dia mengatakan segala hal apapun yang aku rasakan."

Mas Dareen hening. Dia enggan berbalik badan, membisu entah apa yang dia pikirkan.

"Kenapa kalian memperlakukanku begitu mengerikan? Bahkan aku tak lagi bisa mempercayai ucapan Mama, dia mengutarakan kalimat kejam demi mendapatkan satu kepercayaan dari wanita sial ini."

"Fara," Mas Dareen berbalik badan lalu menunjukku. Jemari itu bergetar hebat dan amarah tertampak jelas di kedua netranya. "Kami melakukan ini agar kamu bisa meyakini bahwa tak semua manusia di dunia ini sama. Kamu harus tahu, banyak orang baik yang berkeliaran dan tak semuanya selalu menyakitimu."

"Ada dua cara manusia menyakiti seseorang. Yang pertama berterus terang, yang kedua secara diam dan halus. Keduanya tak ada yang lebih baik. Sakitnya sama Mas."

"Yang kami lakukan untuk membahagiakan kamu Fara. Bukan sebaliknya," tambah Mas Dareen memperjelas. Aku menghela napas panjang.

"Kenapa kalian seakan ter-obsesi denganku? Untuk apa melakukan ini? Kalian bahkan tak mengenaliku, hadirku di sini masih menjadi abu-abu untuk kalian. Tapi kenapa seolah-olah aku ini penting?"

Getaran hebat menghantam tubuh. Sesakit ini rasanya ditipu bahkan dibohongi. Tak perlu mengatakan yang benar-benar menyenangkan jika akhirnya kebohongan semata.

"Aku semakin tak mempercayai bahwa manusia di dunia ini baik setelah berada di sini. Seolah berdiri di antara surga dan neraka. Seperti di tampung oleh istana berkedok penjara."

Setitik air mataku terjatuh. Sangat salah rupanya menaruh harapan dan percaya kepada manusia. Anggap pemikiranku yang kotor, namun, jika semuanya menjadi nyata seperti ini, berarti bukan kesalahanku.

"Apa kamu tahu tentangku?" sekali lagi aku bertanya saat Mas Dareen terdiam. Kali ini ia mengangkat wajah sedikit panik. "Tak ada yang namanya benar orang baik. Kecuali dia tahu segalanya. Sakitku, kemarahan. Atau, kamu terlibat di dalamnya."

"Kamu menuduhku Fara?"

"Iya. Aku menaruh curiga dibalik kebaikan kalian."

Mas Dareen melengos sembari membuang napas kasar. Ia mendekati diri lalu berkata. "Kamu benci di kasihani Fara, lalu harus bagaimana lagi kami bersikap jika bukan seperti ini. Meyakini orang yang hatinya sudah terluka itu sulit. Apalagi meyakini kamu."

"Tapi kenapa harus membawa perasaan di dalamnya Mas. Kenapa kamu bermain-main dengan rasa jika semua itu kosong?"

"Masalah perasaan aku tak berbohong! Sekali lagi aku tekankan. Aku mencintai kamu."

"Oke," singkatku. Kutatap kedua bola matanya, dengan napas yang memburu aku berbisik. "Yakinkan aku dengan kalimat ini. Aku tidak mencintai Naina dan tak akan pernah mencintainya. Coba katakan?"

Mas Dareen hening. Ia bahkan tak ingin mengerjapkan netranya. Aku tahu, mulut itu kelu, dan dia tak akan mampu mengatakannya meskipun dia ingin berbohong sekali lagi.

"Kenapa? Gak bisa kan? Jika kamu terus meyakini jika semua itu benar. Jangan salahkan aku dengan semua kebenaran yang kuyakini."

"Karena pada dasarnya, kamu sudah menipuku Mas."

Hening mengusik kami. Tak ada ucapan yang terdengar, bahkan deru napas mulai melemah. Jika satu keluarga ini memainkan perannya dengan sangat sempurna, aku telah berhasil dijadikan boneka.

Namun satu hal yang membuatku bingung. Kenapa sebegitu pentingnya hadirku sehingga mereka berlomba untuk meminta diri ini tetap tinggal. Bahkan mengucapkan kalimat yang amat kejam demi wanita sepertiku.

Begitupun Naina, ia tanpa ragu menyuruh suaminya menuturkan kalimat yang jelas menjadi pedang untuk hatinya.

Apa aku dan hidupku memiliki cerita lain yang tak pernah mereka bagi? Apa mereka lebih tahu kisahku daripada diriku sendiri?

---•••---

Noda Siapa? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang