Untuk apa menunjukkan wajah penuh dosa ini kepada mereka pemilik surga di luar sana.
---•••---
Aku termenung lagi di bawah keramik yang dingin seakan membekukan. Kupandangi cahaya kecil yang masuk dari celah jendela, hanya pantulan lurus.
Aku mendongak. Semalaman aku tak tidur di ranjang, mata yang ingin terpejam sangat sulit kubawa masuk ke alam mimpi. Bukan tak bisa, tapi bagaimana jika aku tersadar yang kutemui tempat menjijikkan itu lagi.
Pagi-pagi sekali Bu Ira telah mendatangiku, mengusap puncak kepala sembari mengatakan bahwa dia telah memasak nasi goreng untuk kumakan. Dia juga bilang akan pulang cepat lantaran perjanjian pernikahanku dengan Mas Dareen akan di laksanakan sore nanti.
Semua sudah mereka persiapkan. Aku hanya menunggu di dalam hingga acara itu selesai. Iya, untuk apa menunjukkan wajah penuh dosa ini kepada pemilik surga di luar sana. Mereka akan menjajaliku dengan beberapa kata.
Sumpah serapah.
Keseharianku masih sama. Sunyi, gelap, hening. Suara teriakan anak kecil yang bermain di halaman rumah Bu Ira membuatku sangat iri. Seperti apa rasanya tersenyum bahagia. Bagaimana rasanya mengobral tawa di antara mereka.
Aku menyesal terlahir. Aku menyesal Allah menghadirkan diriku yang tak di inginkan. Jika bukan karena mereka, aku tak akan berakhir di sini. Mencari keseluruh dunia dua manusia itu. Hingga mati pun tak akan aku temui.
Aku menyibukkan diri di dalam rumah minimalis ini, tidak mewah, namun sangat menenangkan. Menyapu rumah, mencuci piring juga merapikan pakaian yang telah di angkat Bu Ira dari jemuran.
Beberapa detik, menit seakan berlari kejar-kejaran. Sore terasa singkat saat yang kutatap hanya ruang tamu dan kamar tidurku.
"Assalamualaikum," ketukan pintu dan suara Bu Ira terdengar di luar. Aku menyingkapi perlahan, tidak seluruhnya, kenapa? Saat pintu itu terbuka, mata penuh kebencian pasti berderet di luar, dan aku cukup merasa kesal.
"Waalaikumsalam, Bu," Bu Ira tersenyum sebelum aku mencium punggung tangannya.
"Dareen dalam perjalanan kesini Nak," ucapan Bu Ira terhenti. Ia mengusap lembut pipiku. "Kamu punya rumah Fara, jika nanti mereka bersikap tak baik denganmu, datang lagi kesini. Ibu masih di sini, Ibu tak akan meniggalkan kamu."
Terenyuh hatiku, penuturan super lembut yang menggetarkan jiwa membuat kuingin sekali menangis. Di saat orang-orang tak menginginkan kehadiranku, Bu Ira bahkan menjagaku lebih baik dari apapun di dunia ini.
"Ibu masih mau menerima Fara?" tanyaku. Bu Ira tanpa ragu mengangguk. "Bagaimana dengan mereka?"
"Seiring berjalannya waktu. Mereka pasti akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing Fara. Mereka pasti akan lupa dengan kejadian ini. Lagipula. Orang yang seperti itu hanya mencari kesalahan tanpa peduli kebenarannya."
Iya, mereka mana tahu apa yang terjadi. Mereka mana tahu bagaimana perasaanku. Yang mereka tahu, aku telah berzina.
"Kamu mau menunggu di kamar aja Nak, tak ikut keluar?" aku menggeleng.
"Gak Bu, Fara malu menampakkan diri," ucapku yang di angguki oleh Bu Ira, aku memundurkan tubuh, melangkah lagi menyembunyikan diri di balik pintu kayu itu.
---•••---
"Saya terima nikah dan kawinnya Fara Kailee_
Aku mendengarnya sayup-sayup di belakang pintu kamar, suara lantang yang terdengar setelahnya di iringi kata sah dari penghulu membuatku sadar akan lamunan. Seharusnya, mempelai wanita berdandan begitu anggun, tertawa dikeramaian dan bahagia.
Lalu apa yang saat ini menjalar diseluruh tubuhku, sakit dan kepedihan ini kenapa terus saja menyeruak. Sesak yang menghantam pernapasan membuatku ingin memukuli dada berkali-kali.
"Fara," panggilan yang sangat aku kenal. Bu Ira bersamaan dengan pintu yang ia dorong masuk. "Kamu udah siap Nak?" tanyanya. Tertera mata yang tampak berair ingin menangis di kedua netra itu. "Ibu melepaskan kamu Fara."
Aku bangkit, kupandangi sekilas gamis bunga yang melekat indah di tubuh. Sedetik, aku menjatuhkan diri dan bersimpuh di kakinya. "Ibu, ampuni Fara, maafkan Fara yang membuat Ibu khawatir selama ini, Fara telah menyusahkan Ibu," tangan Bu Ira membekap kedua bahuku, menempelkan wajahnya di kepalaku. Terasa hangat dan menenangkan.
"Bukan salah Fara Nak. Ini takdir Allah, ayo, suamimu sudah menunggu di luar."
Aku mengangkat wajah. "Apa banyak orang di luar Bu?" tanyaku. Bu Ira menggeleng.
"Mobil Dareen berada di depan rumah Nak, tak ada orang yang akan memperhatikan kamu, apa lagi mengatakan kata-kata menyakitkan lagi." Bu Ira mengusap air bening di netraku, lalu tersenyum sendu.
"Tenang Fara, ada Ibu yang akan memarahi mereka," pertegas Bu Ira yang mampu membuat senyum di bibirku terukir. Iya, aku mempercayai ucapan ini, sama seperti saat dia membelaku mati-matian dari serbuan monster yang terus menyumpahiku.
Aku memegang koper kecil melangkah keluar kamar, lenganku di peluk erat oleh Bu Ira, seakan ingin melepaskan namun enggan membiarkan pergi.
"Bu_" Bu Ira mengangguk menghentikan ucapanku. Dia melihat Dareen yang telah membukakan pintu untuk mempersilahkan aku masuk. Sejenak, kupandangi rumah kecil yang menampungku lebih dari setengah tahun. Menerima diriku tanpa berucap. Wanita hina, kau tak pantas kutampung.
Kucium kening Bu Ira sebelum akhirnya aku masuk ke dalam mobil sedan putih itu dan berlalu dari sana. Memiringkan pandangan, menatap jalanan yang ramai. Aku baru saja keluar dari kurungan dan terikat di ruangan kosong gelap bersama kesunyian.
Fara Kailee. Kata Bu panti, nama itu tertulis di kertas putih di samping tubuhku yang di bungkus kain tipis. Hujan saat itu, hingga kertas dengan tintanya telah memudar dan luntur sebagian.
Hatiku remuk mendengar kenyataan saat berusia tujuh belas tahun. Ini salah, jika bukan aku yang mendesak mereka, kenyataan ini pasti aku bawa hingga mati.
Nyatanya, saat semua ini menyeruak, hal lain membuatku hidup di ambang jurang yang begitu amat dalam. Kematian mungkin tak sesakit yang kurasakan beberapa bulan yang lalu.
"Fara," suara berat yang memanggil membuatku tersadar. Lama perjalanan satu kata pun tak keluar untuk lelaki yang beberapa menit menjadikanku istri keduanya, atau lebih tepatnya menyelamatkan wanita malang ini.
"Iya Mas."
"Kita udah sampai."
Aku membuka pintu mobil dengan hati-hati. Tubuhku menggigil saat mendapati wanita berkerudung tengah berdiri di depan pintu. Sangat terlihat dari jauh, senyum merekah ia pancarkan menanti suaminya datang. Bukan diriku.
Rumah ini mewah, berbeda dari rumah yang beberapa menit kutinggalkan. Karena lelaki bernama Dareen seorang pengusaha, kata Bu Ira, tapi aku tak paham apa pekerjaannya.
"Selamat datang Fara," Naina menatap dengan binar kehangatan. Istri pertama menyambut dengan senyum indah untuk madunya. Kamu memang sangat luar biasa Nai. Haruskah aku memelukmu lalu mengucapkan terima kasih karena telah mengizinkan Mas Dareen datang lalu menikahiku.
"Aku Naina. Istri Mas Dareen."
"Aku tahu Nai, aku mengenalmu!"
---•••---
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Siapa? [END]
NouvellesNamaku Fara Kailee, wanita cantik yang malang, kata orang. Bagaimana tidak, hidup di antara hiruk pikuk kehancuran membuatku ingin melenyapkan nyawa ini di dalam lembah kematian. Aku datang sendiri, tetapi pulang membawa satu lagi nyawa. Entah siapa...