Selamat datang putra tersayangku, selamat datang di dunia penuh keajaiban ini. Maaf nak, dengan terpaksa kamu menatapku sebagai orang lain, bukan seorang ibu yang melahirkanmu.
---•••---
Semua peralatan bahkan darah yang tergenang sudah bersih, Naina ikut andil membersihkannya yang membuat hatiku terenyuh. Belum lagi Mas Dareen menggendongku agar tertidur di kasur, bersamaan dengan hal itu jugalah, aku mendengar ia mengadzani anakku yang sekarang beralih menjadi anak mereka.
Satu tetes air mata ini meluncur deras tatkala mereka meminta untuk memberi bayi kecil itu ASI, Mama yang membantuku saat aku belum mengerti mengenai bayi. Lagi dan lagi air mata ini mengalir, memandangi wajah tampan yang tak kuketahui siapa ayahnya.
"Anakmu Ra," ucap Mama lirih, aku menggeleng sendu.
"Bukan anakku lagi Ma."
"Sayang, dia anakmu."
Seperti dihantam bertubi-tubi besi, terasa panas dan juga perih. Kalimat Mama meruntuhkan duniaku, ini tak nyata, mana kebencian yang mengurung, mana amarah yang bergejolak, sekarang meredam hanya dengan seulas tangis terbentuk di bibir mungil bayi ini.
"Dia bayiku," isakan terus lolos, bahkan jemari kecilnya sangat indah kupandangi, ketidakrelaan datang saat aku menatap lekat wajahnya. "Ma, bagaimana ini? Tiba-tiba aku menyayanginya. Ma, tolong aku, hiks, dia bayiku, aku melahirkannya dengan penuh perjuangan, rasa sakit menghantam tubuh dan tulangku secara bersamaan, aku tak mungkin memberikan darah dagingku kepada orang lain begitu saja Ma."
"Iya Ra, dia putramu, dan akan selamanya menjadi putramu."
"Fara."
Aku kenal suara yang mendayu itu, memelan sendu mengusik pendengaran ini, kala aku mendongak menatap wanita yang tak lain adalah Naina, ia tersenyum tenang.
"Boleh aku menggendongnya?"
Ini sungguh sakit, memberikan seorang bayi yang menemaniku dalam kesepian akhirnya akan berada di tangan Naina, ia akan memiliki ayah dan ibu yang lengkap, ia tak kekurangan apa pun, ia akan bahagia, tapi. Kenapa aku seakan sengsara.
"Fara," panggil Naina lagi. Aku mengangguk lemah.
"H-hati-hati," terbata mulutku berucap yang diangguki oleh Naina.
Setelah bayi mungil itu berada didekapannya, Mas Dareen mendekat, tersenyum mereka lalu saling tertawa begitu bangganya, sedetik berlalu, Naina mengecup hangat kening bayiku, menyayangi layaknya anak sendiri, saat gelak tawa merekah.
"Mas, anak kita tampan, setampan dirimu."
Berdesir ulang darahku, debaran datang menghujam kali ini seluruh tubuh. Aku tatap Mama yang juga memandangiku pilu, menggeleng diri ini yang membuat Mama menangis, Ya Allah, aku menyesal, semua yang pernah terucap aku menyesalinya sekarang. Aku menyesal Ya Allah, tolong aku.
Meskipun teriak sekeras mungkin bahkan terdengar dari luar, tak akan mampu mengembalikan segala hal yang sudah terucap, perjanjianku dengan Mas Dareen akan tetap berlanjut, sekian lama setelah ini aku harus merelakan putraku tinggal di sini dan aku harus melangkah pergi.
"Siapa namanya Mas?"
"Kita pikirkan berdua."
Iya, merekalah yang memikirkan nama anak yang lahir dari rahimku, aku sebagai ibunya tak berhak sama sekali ikut campur. Kenapa terasa menyesakkan.
"Fara, apa kamu punya nama untuk putra kami?" Naina memandangiku dengan lekat, senyum tipis terbesit penuh harap di sana, namun aku membeku, mulut ini kelu, hanya debaran sakit yang tercetak.
Sejenak, aku menggeleng. "Aku bahkan tak memikirkan apa pun tentangnya Nai, tapi hari ini, saat tangisan dari bayi kecil yang kamu gendong terdengar, hatiku teriris, kesedihan dan kebahagiaan datang, tak hanya itu. Penyesalan pun ikut serta."
"Fara, apa maksudmu?" tanya Mas Dareen bingung, aku menggeleng lagi.
"Entahlah Mas, aku bahkan tak mengerti dengan semua perasaan abu-abu ini."
"Bagaimana kalau kita cari bersama namanya?" usul Naina.
"Fardan."
Suara Mama membuat kami memandanginya secara bersamaan.
"Farah, Dareen dan Naina. Fardan Pratama. Bagaimana?" ulang Mama sekali lagi.
Mataku teralih memandangi Naina saat wanita itu menatap mata suaminya. Sebenarnya, ada kebahagiaan yang datang di sela tangisanku, saat Mama tak meninggalkan diriku dalam identitas bayi ini, kala mereka telah bersamanya, aku kira tak akan ada aku lagi di sana, tapi sekarang, kelegaan hati terbentuk setelah Mama mengusulkan namanya.
"Aku setuju," final Naina tiba-tiba, ia mengusap lembut pipi Fardan lalu tersenyum. "Bagaimanapun juga, Fara ibu kandung Fardan, pastilah namanya lebih dulu tersemat kepada bayi ini."
"Tapi, Fara bukan lagi ibunya Nai, kamu yang sekarang menjadi ibunya," sanggah Mas Dareen seolah-olah tak terima. "Kenapa tak nama Naina saja di awal Ma, kenapa harus Fara?"
"Ada apa dengan pertanyaan kamu Dareen, Fardan anak kandung Fara, kenapa harus namanya yang berada di belakang?"
"Tapi Fara telah memberikannya kepada kami, otomatis, dia anak kami berdua Ma."
"Memang, tapi apa kamu tak punya perasaan sedikit saja, hanya nama itu yang tertinggal dari Fara untuknya, jangan keterlaluan menjauhi Fardan dari Fara."
"Selama ini, Fara tak pernah menjaganya dengan baik, dia bahkan tak mau memeriksa kesehatan bayinya ke dokter, dia enggan memberikan makanan sehat, dia tak peduli anak dikandungannya akan mati atau tidak, lalu kenapa sekarang dia ingin mengambil alih sebagian hal yang tak pernah dia inginkan?"
Mulutku menganga sempurna, hembusan napas tercekat bahkan udara di ruangan itu seakan menipis, pedih sekali mendengar penuturan dirinya, terasa kejam dan menyakitkan, tapi tak mampu aku pungkiri itu benar, aku bahkan tak peduli dia akan mati di dalam sana, aku tak pernah mengharapkannya hidup, aneh sekali, Allah menempatkan bayi mungil tanpa dosa itu di tempat yang aman, tak sakit bahkan lahir pun dalam keadaan normal dan sehat-sehat saja.
Sempat aku meragukan kuasa Allah, sekarang, seolah terjawab sudah di hadapan mataku, masalahnya. Aku membenci kenyataan ini.
"Dareen, Ya Allah. Ada apa denganmu nak?"
"Mas, kenapa kamu mengatakan itu," sanggah Naina sedikit panik. Aku menunduk.
"Mas Dareen benar, aku mengabaikannya tanpa memberinya kasih sayang, kebencian ini mengurung seluruh tubuhku sehingga dia tak ingin aku jaga, semua ini kesalahanku dan mungkin hukuman buatku juga. Jika kamu ingin mengganti nama Fardan dengan yang lain silahkan Mas, dia sekarang telah menjadi hakmu, aku, tak lagi bisa ikut campur."
"Fara_"
"Tidak usah, biarkan namanya Fardan. Fardan Pratama," jawab Mas Dareen singkat lalu memutar tubuh dan berlalu dari sana, meninggalkan kami dalam keadaan hati yang mulai tak tenang.
"Fardan. Ini Bunda nak, wanita yang melahirkanmu ini, tak akan bisa kamu panggil Bunda," gumamku.
Dalam hening itu, dalam tetesan tangisku. Wajah Fardan terus menjelma menjadi bayangan. Dia selalu berputar di hadapan mata begitu juga relung hatiku. Haruskah aku ucapkan beribu maaf dan terima kasih pada Tuhan.
Haruskah aku bersyukur?
---•••---
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Siapa? [END]
Storie breviNamaku Fara Kailee, wanita cantik yang malang, kata orang. Bagaimana tidak, hidup di antara hiruk pikuk kehancuran membuatku ingin melenyapkan nyawa ini di dalam lembah kematian. Aku datang sendiri, tetapi pulang membawa satu lagi nyawa. Entah siapa...