Kenapa Tuhan membagikan porsi yang salah. Ketika kamu begitu menginginkan hal yang justru kubenci. Bukankah terlihat sangat ketara bahwa dunia dan takdir bekerja sama untuk menyakiti?
---•••---
"Fara."
Aku tersentak dalam lamunan kala lambaian tangan Naina menari di hadapan wajahku. Angin yang merembus juga menampar sebagian. Kutatap Naina yang juga tengah tersenyum sedikit bingung.
"Apa yang kamu pikirkan Fara sehingga panggilanku tak terdengar?" tanyanya.
"Banyak," kujawab singkat pertanyaan Naina, pastilah ini akan menjadi pemikiran lain yang bergejolak di dalam sana, terlihat saat kening wanita itu mengernyit.
"Apa Fara. Bayimu?"
Aku menoleh dari tatapan Naina. Kenapa membahas seorang bayi hatiku terasa tak tenang, ditambah oleh kalimat-kalimat yang terus mengusik bahkan tak hentinya berteriak.
"Aku lihat kotak-kotak besar yang di pindahkan Mas Darren ke gudang. Itu dari Mama mertuaku kan Ra?"
Aku mengangguk.
"Apa isinya? Pakaian bayi?"
"Iya."
"Bolehkah aku iri denganmu Fara?"
Helaan napas kasar terdengar dari samping, saat aku melengos Naina menunduk sembari menumpahkan air bening hingga terjatuh di meja makan. Dengan cepat ia mengusap lalu kembali mengangkat wajah.
"Apa maksudmu iri Naina?"
"Aku juga ingin merasakan ini Ra. Jika aku hamil, Mama akan memperlakukanku begitu sayang, dan bersikap penuh kelembutan?"
Aku tergelak mendengar celoteh Naina. Haruskah aku mempercayainya? "Apa kamu serius mengatakannya Nai. Kamu ingin hamil?" tanyaku. Naina mengangguk secepat kilat, bahkan netra sendu itu tampak berbinar.
"Melihat pakaian serba kecil di dalam kotak itu, hatiku sakit Fara."
"Kamu akan menerima bayi ini jika ia lahir dengan selamat Naina. Dan pakaian yang berada di sana akan menjadi mainanmu. Apa yang membuat kamu sakit?"
"Aku juga menginginkan bayi yang lahir dari rahimku Fara. Dan semua istri di dunia ini pasti akan memimpikan hal yang sama," jawab Naina.
Aku memutar penglihatan hanya untuk menghirup udara sekitar lalu membuangnya dengan kasar. Hatinya sakit? Lalu bagaimana dengan hatiku, bahagiakah?
"Dunia ini aneh ya?" kulihat lagi Naina yang tampak sangat kaget. "Di saat aku membenci kehadiranya, kamu justru menginginkan seorang bayi. Kenapa Tuhan tak menukar posisi kita, kenapa dia selalu membagikan porsi yang salah. Kenapa ada kekeliruan di alam semesta yang begitu besar ini? Bukankah sangat kentara bahwa Tuhan itu kejam."
"Fara," Naina menggenggam jemariku. Merematnya erat sehingga sulit kulepas. Saat deru napas yang ber-iringan dengan air mata yang meluruh di kedua sisi wajah Naina, bola mata hitamnya menampilkan kesakitan yang sangat sulit kucerna.
"Jika aku bilang jangan pernah menyalahkan Allah di balik kejadian ini, pasti akan menambah kebencianmu Fara. Tapi beginilah hidup. Saat apa yang kamu miliki diinginkan oleh orang lain, mereka tak melihat kesakitanmu_"
"Kamu tahu rasa sakitku Naina. Justru kamulah orang yang menginginkannya dariku."
"Aku salah. Aku egois yang hanya mementingkan inginku tanpa memikirkan perasaanmu Fara. Maaf."
Saat maaf dari Naina terlontar, di sanalah jemarinya merenggang. Aku melepaskannya dengan cepat. Sakit sekali rasanya berdebat dengan Naina, seolah ia memiliki dua kepribadian yang berbeda, bisa memberikan kesalahan dan maaf dalam waktu yang singkat.
"Semakin lama, aku semakin sulit memahami kamu dan orang-orang yang berada di dalam rumah ini Nai. Bagaimana caranya memahami miliaran orang di luar sana?"
Naina tertegun hebat, saat ia mengusap wajah, Naina tampak mengangguk kecil. "Aku juga sulit mengerti dirimu Fara. Aku juga tak bisa menaruh kepercayaan penuh terhadapmu."
"Kamu bilang bahwa kamu tak mencurigaiku Nai, kamu bilang aku salah paham mengartikan ucapanmu. Lalu apa sekarang?"
Naina terkekeh kasar sembari menatapku begitu dalam, kali ini mata dan gurat dari wajahnya tepancar kilatan amarah di sana.
"Aku mendengar sesuatu yang tak seharusnya kudengar. Disaat dia dengan mudah menyimpan segalanya di dalam hati. Mengubur dan mengunci rapat-rapat, justru lebih memilih jujur kepadaku."
Dadaku bergemuruh kuat, apa maksud ucapan Naina? Apa yang ia dengar? Saat napas tersengal dan getaran yang terlihat dari bibir Naina aku mencoba bertanya.
"Siapa? Siapa orangnya Nai?"
"Mas Dareen!"
Ya Allah, genangan yang sama sekali tak ada sekarang seakan menyeruak keluar, mereka berlomba-lomba untuk berlarian dan meluruh disela wajahku. Aku bahkan tak tahu apa yang di bicarakan Mas Dareen kepadanya, namun, kenapa rasanya sesak sekali.
"Aku memberikan kepercayaan penuh terhadapmu Fara, tetapi sekarang hilang sepuluh persen setelah aku mendapatkan jawaban dari Mas Dareen."
"Jawaban apa?" jemari yang kuremat bergetar, raga ini melemah dan tulangku tak bisa menjaga keseimbangan saat aku mencoba untuk bangkit dari duduk.
"Kamu tak perlu tahu Ra, dan aku harap kamu tak akan pernah tahu. Karena aku masih ingin kamu berada di sini, menjadi teman sekaligus tempat curhatan terakhir yang kupunya."
"Fara," panggilnya sekali lagi. "Jika semua ini benar dan apa yang aku dengar menjadi kenyataan. Jangan harap dapat maaf dariku. Jangan harap aku bisa memaafkanmu."
Tes..
Sulit sekali menahannya sehingga tetesan air mata ini terjatuh begitu deras. Sakit sekali rasanya mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan Naina dengan lirih. Salahku apa? Dua kata yang tertumpuk tak bisa kucerna, banyak hal yang melintas di pikiran satupun tak bisa kutangkap.
"Aku ada urusan sebentar. Kamu mau ikut?"
Naina bangkit dari duduk. Mungkin saja sekarang ini ia menatapku yang tengah menangis, sayangnya, aku menunduk mempertahankan diri.
Beberapa detik hening, aku menggeleng. "Kamu tahu aku takut keluar rumah dan bertemu orang lain. Kenapa masih mengajakku Naina. Basa-basi?"
"Iya."
"Pergilah. Aku sudah terbiasa sendiri."
Saat langkah kaki Naina terdengar berputar masuk ke kamar hingga keluar kamar, aku masih terduduk di sana, sejenak terasa agak menghilang aku bangkit memutar tubuh, melihat Naina yang akan segera keluar rumah.
"Naina!" panggilku.
Ia berbalik badan. "Kenapa?"
"Jangan pulang terlalu lama. Jangan membiarkan aku dan suamimu tinggal di satu atap tanpa dirimu. Jangan menumpuk kecurigaan terlalu banyak lalu menyalahkan salah satu dari kami. Kamu yang akan rugi sendirian Naina!"
"Tentu. Aku tak ingin tertipu dua kali."
Pintu besar itu tertutup sangat rapat. Sama halnya hatiku yang mulai kututup untuk siapapun kecuali Bu Ira. Hanya dia, satu dari keseluruhan yang bernapas di dunia ini, hanya dia yang benar-benar tulus.
"Bu," satu isakkan lolos begitu saja. Tangisan terpecah dan aku tak mendapatkan pelukkan dari siapapun. Tak ada yang menepuk bahuku, tak ada yang mengusap air mata lalu memberikan senyuman hangat. Tak ada yang akan berbicara. "Fara, kuatlah. Kami ada di sini untukmu. Kami selalu menyayangimu. Fara, kami merindukanmu." tak ada.
Dan tak mungkin pernah ada!
---•••---
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Siapa? [END]
Historia CortaNamaku Fara Kailee, wanita cantik yang malang, kata orang. Bagaimana tidak, hidup di antara hiruk pikuk kehancuran membuatku ingin melenyapkan nyawa ini di dalam lembah kematian. Aku datang sendiri, tetapi pulang membawa satu lagi nyawa. Entah siapa...