Ada gejolak sakit saat aku memandang indah rupamu, ada sayatan pedih kala kutatap senyummu. Ada aku, dalam kehidupan singkatmu.
---•••---
Ada mataku di balik tatapannya. Ada senyumku dalam ulasan senyumnya. Ada wajahku yang tercetak jelas di sana.
Tetapi aku, bukan lagi seorang ibu bagi bayi kecil ini. Seperti runtuh dunia kala pandangan mataku tak pernah terhenti kepada Fardan yang sedang terlelap di bawah kelambu putihnya, dalam hati aku berbisik lirih, kenapa harus wajahku?
Kenapa mengambil wajahku? Kenapa? Ya Allah, jiwa ini seolah terbang bersama kesakitan yang terus mendera, semakin kuperhatikan dirinya, aku semakin membenci diriku yang begitu amat buruk.
"Fardan, kamu akan memanggilku siapa nantinya? Tante? Bibi?" terjatuh lagi mutiara dari sudut netraku, diserang bertubi-tubi rasanya amat menyesakkan.
"Fara, aku membuatkan kamu bubur," Naina duduk di samping kasur, ia juga meletakan mangkok berisikan bubur yang baru ia masak di atas nakas lalu tersenyum.
"Kamu belum makan, kan? Mau aku suapin?"
Dalam hening aku mengangguk.
"Masih panas, tunggu dingin sebentar lagi," ucap Naina, ia mengalihkan tatapan ke arah Fardan yang tengah terlelap, jelas dan sangat kentara binar kebahagiaan menghiasi wajahnya.
"Dia mengambil wajahku Nai."
Naina mengangguk.
"Kenapa harus wajahku Nai?" aku bertanya dengan intonasi memelan, sedangkan Naina menoleh memandangiku.
"Karena kamu ibunya Fara, dia lahir dari rahimmu."
Aku menggeleng. "Kalau seperti ini, bagaimana caranya aku pergi?"
Naina terdiam, ia membisu seraya menunduk, tak menjawab dan enggan menatapku.
"Seharusnya dia mengambil sebagian wajah lelaki bejat itu sehingga kepergian ini memiliki alasan_"
"Jikapun wajahnya sama dengan dia, apa kamu yakin akan tetap meninggalkan Fardan?"
Tidak! Sungguh, teriakan ini bergema di dalam pikiran, ia berteriak sangat kencang sebelum Naina menyelesaikan pertanyaannya, entah kapan dimulai semua ini, entah dari mana asal kegundahan ini, kenapa semuanya mulai berpacu enggan sekali berhenti, memberontak ingin sekali terlepas.
"Dia putramu," tambah Naina, ia kembali memperhatikan Fardan lalu tersenyum. "Sebanyak apa pun kebencian yang sempat kamu simpan erat, beribu-ribu umpatan yang pernah kamu bisikan kepadanya, bahkan mencoba membunuh dia yang berharap sekali memandangi indahnya dunia. Hari ini, saat kamu menatap ada wajahmu di sana, saat kamu dengar tangisan kecil dari bibirnya, hitam pekat yang mengurung tubuhmu terlepas lalu digantikan dengan penyesalan."
"Bukankah sudah sangat terlambat Fara?"
"Aku harus apa?" dalam getaran bibir ini aku menatapnya meminta ampun, sedangkan Naina menggeleng.
"Perjanjian, akan menjadi perjanjian Fara, dia akan menjadi putraku bersama Mas Dareen, dan kamu," ucapan Naina terjeda bersama helaan napas yang sengaja ia keluarkan. "Mungkin akan melangkah pergi dari rumah ini."
Ya Allah sakit sekali, Ya Rabb, ini menyakitkan, tanpa aba-aba air mata membanjiri lagi di kedua sisi wajahku.
"Nai_"
"Apa yang kamu katakan Naina!"
Aku menoleh, mendapati Mama yang semakin mendekat dengan tatapan begitu nyalang, ia perhatikan Naina penuh amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noda Siapa? [END]
ContoNamaku Fara Kailee, wanita cantik yang malang, kata orang. Bagaimana tidak, hidup di antara hiruk pikuk kehancuran membuatku ingin melenyapkan nyawa ini di dalam lembah kematian. Aku datang sendiri, tetapi pulang membawa satu lagi nyawa. Entah siapa...