Don't Believe

241 22 11
                                    


Next partnya, yo!
Sorry kalo ceritanya kurang seru gitu...(;¬д¬)
Lalu, sebenarnya tokoh utamanya itu adalah Ken, tapi kasi ajalah dikit POV Karen dan Tata adiknya Ken.

Selamat membaca!

(+++)

Bayangan cairan pekat berwarna merah menyala itu mengiring kakiku untuk melangkah kearahnya. Dengan tubuh bergetar aku hanya dapat menelan saliva dan memandangnya miris. Suasana mulai ramai dan banyak orang meneriaki namanya.

"Nona! Nona Aren!"

"Nona Aren!"

"Ada apa ini?"

Banyak orang menyahut dan menghentikan kendaraan mereka di seberang tubuh Karen. Mereka-mereka -yang memakai mobil mewah- memanggilnya nona Aren, jelas aku tidak mengerti apa yang harus kurespon terhadap panggilan mereka.

Tapi, seorang pria tersenyum miris padaku dan menanyakan siapa aku, yang kujawab dengan "Namaku, Ken. Aku... partner dramanya." secara terpaksa.

Dan setelah itu, aku hanya mengiyakan ajakan pria itu untuk memanggil Ambulance dan membawa Karen ke rumah sakit terdekat.

Mendengar tempat itu, rasanya aku ingin mati.

*skip

Bau obat-obatan menyeruak dan menusuk indra penciumanku. Rasanya sudah lama sekali tidak memasuki gedung yang disimbah tangisan, bau obat, kursi roda, dan keramik putih seperti ini. Dan sekarang, aku kembali menyadari kalau aku memang sangat membenci gedung ini. Mungkin karena mengingatkanku akan sesuatu.

Sekaligus, rasanya sangat tersiksa melawan teriakan batinku untuk tidak mencabut infus yang sedang ditanam di punggung tangannya. Rasanya tersiksa sekali untuk tidak membawanya keluar dari gedung ini lalu membasuh warna merah itu dengan air mataku sendiri.

Aku menatap kosong kearahnya yang dibatasi kaca pintu ruang ICU ini. Perawat dan ahli bedah sedang mengerumuninya dengan baju hijau itu. Baju hijau yang pernah aku lihat saat itu.

"Bang Ken...." suara lembut adikku membangunkanku dari lamunan. Aku tetap menatap lurus dan tidak memperdulikannya. Pikiranku hanya melayang ke beberapa hal.

Aku benci bau cairan infus, aku benci rumah sakit, dan mungkin setelah ini aku akan membenci warna merah. Semua itu hanya membangkitkan kembali rasa sakit yang sudah kuredam bertahun-tahun.

Dan, mungkin aku sudah membenci warna lambang keberanian ini jika aku menyaksikan kecelakaan itu secara langsung, dulu disaat itu terjadi.

(+++)

Fors sudah memberi peringatan kepadaku beberapa kali, dan mungkin ini ke enam kalinya ia memperingatiku.

"Jangan melamun, mister." Katanya.

Mungkin suaraku tidak bergeming, tapi aku benar-benar tersadar dan tidak melamun. Tapi tetap saja, pandanganku kabur lagi tanpa kuminta.

"... Ken, Karen, dan bla bla bla..." saat namaku dan namanya disebut, rasanya kesabaranku kembali dan aku berdiri dan menatapnya yang sedang tersenyum disampingku.

Kita dan teman drama lainnya berpamitan pada Miss Fors, lalu lanjut menuju ruang drama. Aku tersenyum kearah Karen tanpa memperdulikan tatapan aneh orang saat menatapku. Tidak apa apa, asal aku melihat senyum manisnya.

"Ken, what's up bro?" Tanya seseorang disampingku. Aku mengalihkan perhatianku dari Karen dan sekarang menatap laki-laki yang sedang melihatku dengan menaik turunkan alisnya. Teman dramaku, Dimas.

Drama QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang