Hai para readers tercinta! Gue kembali!
Pertama-tama gue ngucapin selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang jalanin :D.
Kedua, gue minta maaf karena gue updatenya lama. :'( Sorry banget kalau, membuat kalian kecewa sama gue.
Btw, sebelum baca epilog ini, terimakasih banyak bagi yg mendukung novel ini ya! ^^
Tinggal 2 Part lagi! ^^ Keep reading!
(+++)
Dia berkata; "Aku mencintaimu."
Seakan terbang ke langit ke-7, aku tersenyum padanya. Tapi senyumku tidak bertahan lama disaat matanya semakin bercahaya pilu.
"Karena itulah aku ingin kau melupakanku," katanya, membuat hatiku seperti dihantam pecahan-pehan kaca dan langit ke-7 telah runtuh.
Dia mencintaiku, karena itu, dia memintaku untuk melupakannya?
"Kenapa?" Tanyaku dengan nada setengah kecewa, tapi harus tampil secerah mungkin agar situasi menyedihkan ini, tidak tambah menyedihkan lagi.
Ia terdiam. Beberapa butiran bening keluar dari sudut matanya. Dan semakin lama pula, tangisannya tumpah dan aku tidak tahu harus berbuat apa-apa.
"Aku..." kalimatnya terhenti. Memang ada sesuatu yang ganjal, yang dari awalnya pakai gue-lo sekarang aku-kamu.
"Tunggu... lo cinta ke gue dan sekarang malah minta gue ngelupain elo? Itu gak adil," kataku setengah bergurau, tapi terdengar menyedihkan.
"Lo gak ngerti, Ken," gumamnya, "Gue hanya, gak mau... gak mau mati," ujarnya dengan pilu. Mataku meneduh mendengar kata 'mati' itu terlontar. Aku jadi merasa bersalah karena mendengar pembicaraan ibunya dan dokter di rumah sakit, tempat rawat inapnya.
"E-emang lo sakit?" Tanyaku pura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya. Tapi memang benar, aku tidak tahu apa yang terjadi. Yang kutahu adalah, dia divonis meninggal dunia.
"Ya," katanya singkat.
Suasana hening. Ini benar-benar tidak nyaman. Keheningan ini seakan menggantungku di udara.
"Gue gak pintar soal penyakit, tapi yang gue tahu, gue menderita Kebocoran Jantung."
Jleeeb!
Dadaku nyeri mendengar tentang jantung. Mengingatkanku kembali akan sesuatu yang terjadi pada suatu hari, di atas gunung, dalam Rumah Sakit, dan terakhir; ruang operasi, yang dipenuhi oleh banyak cahaya yang menerangi darah ibuku yang sudah mengering.
Memori yang dipenuhi jeritan tertahan itu kembali terulang seperti kaset rusak, membuatku bertanya-tanya apakah dulu aku itu polos atau sok-sok polos? Dengan wajah diam hanya melihat banyak orang menangis mengelilingi mayat itu.
"Jadi, hanya karena itu?" Ujarku akhirnya, mengumpulkan nyawaku yang hampir larut dalam kilasan itu. "Apakah lo hanya ingin gue lupain lo, sedangkan lo belum memastikan perasaan gue?"
Ia terdiam. Dari raut wajahnya, ia tampak menyesal.
Aku menunduk.
"Gue suka sama lo, bahkan sayang sama lo. Mungkin lo gak rasain, tiap gue ngejauhin teman-teman nongkrong gue demi menarik lo saat sedang berbicara dengan teman-teman lo, sebenarnya karena gue rindu sama lo," aku terdiam sebentar, memperhatikan kalau ia senang atau tidak senang dengan pembicaraan ini. Karena merasa baik-baik saja, aku melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Drama Queen
RomanceBakat yang luar biasa! Tapi, kepalanya keras kali! Tapi, apa dayanya? Kamilah peran utamanya. Aku dan Dia. Sampai pada akhir dunia berputar pun, tetap Aku dan Dia.