Kediaman Barata dibangun di atas tanah seluas 2200 meter persegi, terdiri dari tiga lantai dan total delapan kamar tidur dan delapan kamar mandi, tidak termasuk toilet. Di bagian luar rumah, selain ada garasi yang mampu menampung kurang lebih delapan mobil, kebun yang terawat, serta kolam renang berukuran 10x5 meter, terdapat pavilliun untuk para pegawai Barata tinggali.
Dengan ukuran rumah sebesar itu, tidak heran banyak sekali ruangan yang tidak lazim ada di rumah biasa, ada di sana. Mereka bahkan punya dua ruang tamu, satu untuk tamu yang formal dan tidak terlalu dekat. Satu lagi untuk tamu yang lebih akrab, seperti teman, atau rekan kerja yang sudah biasa bertemu.
Mereka juga punya ballroom yang sangat luas, di lantai dua, dengan grand piano putih dan chandelier sebagai dekorasi. Benar-benar dekorasi, karena chandelier-nya tidak pernah dipakai, dan pianonya lebih sering menganggur daripada dimainkan. Alasannya, tidak ada satupun anak-anak Barata yang berhasil lulus dari les piano. Oliv hanya bisa main twinkle twinkle little star dengan beres. Bang Hari dan Leon lebih parah lagi. Lewat hari pertama, mereka tidak mau datang lagi ke tempat les. Untungnya sekarang, Maisie, putri kecil Bang Hari, tampaknya berbakat musik dan mau les piano. Jadi pianonya tidak terlalu menganggur lagi karena dipakai Maisie latihan.
Ruangan yang paling Oliv sukai, dan dibuat karena permintaan Oliv, adalah home theater. Salah satu kamar yang menganggur di lantai tiga, dirombak besar-besaran sebagai hadiah ulang tahun Oliv yang ke tujuh belas. Dua set sofabed yang luas dan nyaman disusun depan belakang, dengan posisi yang belakang lebih tinggi. Di bagian dinding sebelah kanan diletakkan rak dan lemari es yang dipenuhi berbagai jenis kudapan dan minuman.
Ini bukan pertama kalinya Oliv mengajak Hansen nonton bareng di ruangan ini, tapi baru kali ini mereka nonton hanya berdua.
Walaupun rasanya agak aneh dan canggung, setidaknya ini rumah gue, zona gue, batin Oliv menenangkan dirinya sendiri.
Oliv langsung mengambil alih bungkusan di tangan Hansen dan menuju rak untuk mengambil mangkuk.
"Lo pilih sendiri minumnya deh, di kulkas," kata Oliv, dan Hansen menurutinya, walaupun mulutnya tetap saja menggoda Oliv.
"Nggak jadi kasih gue whiskey?"
"Kagak. Ntar lo mabok, gue yang repot."
Hansen tertawa pelan. Dia mengeluarkan dua botol air mineral dingin, lalu meletakkannya di meja samping sofabed, diikuti Oliv.
Film yang mereka pilih adalah film action terbaru Keanu Reeves, yang merupakan sekuel yang mereka ikuti tapi belum sempat nonton yang terbaru.
Oliv duduk bersila dengan selimut membungkus kakinya, dan mangkuk edamame diatas selimut. Hansen duduk tepat di sebelah Oliv, menyandar nyaman dengan kaki diluruskan.
Oliv tahu ini seharusnya biasa saja, posisi mereka juga hanya bersebelahan, tanpa saling bersentuhan. Suhu udara pun cukup dingin, karena AC menyala di suhu delapan belas derajat celsius. Tapi dia merasakan hawa panas dari sebelah kanannya. Jantungnya pun berdegup tak karuan. Dia tidak bisa menahan godaan untuk sesekali melirik kaki Hansen, atau tangan Hansen yang memegang botol air. Beberapa kali Oliv bahkan melirik wajah Hansen yang tampak serius menonton.
Dalam hatinya, Oliv terus memaki jantung bodohnya yang jelas-jelas gagal total.
Move on my ass, batin Oliv keki. Duduk sebelahan doang aja udah bikin ketar ketir begini. Jantung bego.
Lalu, tiba-tiba saja, Hansen menoleh dan menatap Oliv bingung.
"Lo nggak nonton? Kenapa lo liatin gue?"
"Gu-gue nggak liatin lo! Gue mau minta tolong ambil air gue!" elak Oliv buru-buru.
Untung saja ruangan itu gelap, jadi Hansen tidak mungkin sadar kalau wajah Oliv sudah merah semerah-merahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
At Last
RomanceIni hanya kisah sederhana, antara dua sahabat sejak kecil yang menyimpan rasa yang sama di waktu yang berbeda Warning 18++ Start : 13 ag'19