Malam ini malam jumat. Tidak ada yang istimewa dengan malam ini selain bahwa Hansen dan Astrid sama-sama memiliki waktu luang dan menghabiskannya berdua di rumah Astrid. Mereka berdua duduk sambil berangkulan di sofa, lebih tepatnya Hansen yang merangkul Astrid, sementara Astrid sibuk melihat-lihat foto gaun pengantin di layar tabletnya. Tangannya yang lentik dan berhias cincin sibuk menggeser layar, dan sesekali mengusap jemari Hansen.
"Yang ini bagus?"
"Hmm..."
Hansen tidak memperhatikan, menurutnya foto yang ditunjukkan Astrid semuanya sama saja. Hansen tidak peduli tetek bengek seperti ini, tapi untuk menyenangkan Astrid, dia berusaha terlihat tertarik.
"Seriusan, Hans. Bagus nggak?"
"Kamu mau pakai apapun bagus."
"Ah, kamu mah, serius dikit deh. Kita kan mau nikah awal tahun depan. Aku udah harus nyari-nyari dong, buat nikahan kita. Enam bulan lagi lho," gerutu Astrid.
"Iya, iya. Gitu aja ngambek, Sayang," kata Hansen, mengeratkan pelukannya, namun Astrid justru menjauh. Dia mengangkat kedua tangannya lalu menguncir rambutnya ke atas kepalanya, memperlihatkan leher dan tengkuknya sambil terus menggerutu, "Panas banget deh."
Lalu Hansen tertegun.
Ada memar kemerahan di ceruk leher dan tengkuk Astrid, yang dari tadi tertutupi rambutnya yang panjang.
Hansen mungkin masih perjaka, tapi dia tidak bodoh. Berteman dengan dua bajingan dan dua mantan bajingan yang selalu punya agenda khusus untuk meracuni otak Hansen membuatnya tahu persis tanda apa itu.
"Kamu nggak merasa panas? Aku turunin suhu AC deh- Hans?" Astrid menoleh karena tidak mendapat tanggapan, lalu menatap Hansen kebingungan. "Kamu kenapa? Kok muka kamu tiba-tiba nggak nyantai gitu-"
"Kapan terakhir kamu have sex?"
Mata Astrid membola, lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya yang ranum.
"Maksud kamu apa? Kamu jangan nanya gitu mentang-mentang kamu tahu aku udah nggak perawan pas kita pacaran-"
"Aku ganti pertanyaan aku kalau gitu. Apa selama sepuluh tahun ini, kamu pernah have sex?"
Astrid langsung berdiri dan menatap Hansen dengan kesal, sementara Hansen balik menatapnya tajam.
"Apa-apaan, Hans?? Kamu kan tahu selama aku pacaran sama kamu, aku nggak pernah cheating-"
"Lalu tanda apa yang ada di belakang leher kamu?"
Astrid terdiam, tampak terkejut, dan secara otomatis menyentuh tengkuknya.
Melihat reaksi dan wajah Astrid yang memucat, Hansen setengah mati bertahan untuk tetap tenang, walaupun dadanya sesak karena sakit. Dia tahu, tebakannya tepat.
"Aku- belakangan ini emang banyak nyamuk. Mungkin aku digigit-"
"Siapa pria itu?" tanya Hansen tenang, saking tenangnya membuat Astrid mengerut takut, karena di balik ketenangannya itu, dia tahu Hansen murka.
Hansen adalah pria yang baik, dan selalu pintar mengendalikan diri.
Bahkan selama sepuluh tahun mereka pacaran, Hansen tidak pernah melakukan lebih dari sekedar mencium bibir Astrid dan sedikit pelukan intim, padahal sejak awal Astrid memberitahunya kalau dia sudah tidak perawan. Hansen tetap bersikeras menahan diri, walaupun tak jarang Astrid menggodanya.
"Itu-"
"Bos kamu?"
"Aku-"
"Atau teman kerja kamu yang suka nganterin kamu pulang itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
At Last
RomanceIni hanya kisah sederhana, antara dua sahabat sejak kecil yang menyimpan rasa yang sama di waktu yang berbeda Warning 18++ Start : 13 ag'19