Hansen sudah menyalakan mesin mobil, namun tidak langsung menjalankannya. Dia justru duduk terdiam, menatap kedua tangannya.
Telinganya masih bisa menangkap rentetan omelan Oliv yang sibuk mengatai Astrid sejak pintu mobil tertutup. Namun dia membiarkannya.
Hansen menarik nafas panjang, dan membuangnya perlahan.
Dia tahu tidak mudah move on dari perempuan yang sudah bersamanya selama 10 tahun. Apalagi bertemu seperti ini, membuatnya berusaha keras menahan diri untuk tidak mengkhawatirkannya, seperti kebiasaan Hansen sepuluh tahun terakhir.
Bukan perasaan yang masih tertinggal, Hansen tahu itu. Keputusannya untuk merelakan Astrid bahagia tanpa bersamanya, itu sangat membantu Hansen untuk bisa memudarkan rasa cinta yang tumbuh selama sepuluh tahun itu. Tapi Hansen harus mengakui, dia tetap memiliki rasa sayang pada Astrid, dan terbiasa mengkhawatirkannya. Kebiasaan itulah yang sulit dilupakan.
Untung ada Oliv yang menahannya. Untuk itu, Hansen bersyukur dia tidak sendirian. Ada Oliv bersamanya.
" ... lo juga! Lo bisa-bisanya jadi kaku gitu pas liat nenek lampir itu! Untung lo nggak membantah gue! Sampai lo bantah gue pas gue belain lo, gue bikin lo jadi Hansen guling! Nggak peduli ntar lo dicariin ortu lo!"
Hansen menoleh pada Oliv yang menatapnya galak.
Dia sadar, mungkin saja Oliv membelanya karena hanya menganggapnya sahabat kesayangan, tidak lebih.
Tapi dia juga menyadari perbedaan degupan jantungnya. Perasaan hangat dan nyaman yang saat ini melingkupinya, hanya dengan melihat Oliv yang sedari tadi berapi-api, marah dan mengomel hanya untuknya.
Dia menyadari, perasaannya pada Oliv tidak pernah hilang sepenuhnya, sekuat apapun dia berusaha membohongi diri. Selama ini dia hanya melarikan diri, karena takut akan penolakan Oliv. Dia takut persahabatan mereka berantakan.
Padahal, dia sendiri yang mengacaukan persahabatan mereka sepuluh tahun terakhir.
Oliv menatap Hansen bingung sekaligus salah tingkah.
Hansen menatapnya intens, sama sekali tidak merespons omelan Oliv. Itu benar-benar membingungkan, dan Oliv tidak pernah ditatap seperti ini oleh Hansen.
Entah kenapa, ada yang berbeda dengan Hansen, tidak seperti biasanya, dan jantung Oliv langsung berulah.
Jantung, nggak usah aneh-aneh, deh. Ini Hansen. Hansen! Manusia yang harusnya berhenti bikin lo berulah! Move on, dong, please, batin Oliv keki.
Beruntung, ponselnya tiba-tiba berdering, membuat Oliv punya alasan untuk mengalihkan pandangan dari Hansen.
Nama Ronald berkedip di layar, dan Oliv menekan tombol hijau sebelum menempelkan ke telinga.
"Halo? Kenapa, Ron?"
"Halo. Nggak apa-apa. Lo sibuk? Gue break makan siang. Pengen ajak lo makan bareng kalau lo sempat."
"Erm..." Oliv melirik Hansen ragu. "Gue nggak sibuk sih... Belum makan siang juga-"
Tiba-tiba ponselnya direbut, dan sebelum Oliv sempat merespons, Hansen berbicara di ponselnya, "Oliv lagi sama gue. Dia udah janji makan siang bareng gue."
Hansen mendengarkan ucapan Ron di seberang telepon, sebelum menjawab, "Oke," dan memutus sambungan telepon.
"Hans! Kok lo nggak sopan gitu, main rebut hp gue?!"
Hansen mengembalikan ponselnya pada Oliv dengan ekspresi datar.
"Gue nggak mau waktu lo sama gue diganggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
At Last
RomansaIni hanya kisah sederhana, antara dua sahabat sejak kecil yang menyimpan rasa yang sama di waktu yang berbeda Warning 18++ Start : 13 ag'19