Chapter 5: Wisdom

35 5 0
                                    

Pada malam hari, jalanan depan rumah malah semakin sepi dan gelap karena minim penerangan. Kecuali tempat sebelah yang ramai sekali karena disitu juga tempat minum-minum. Hari ini untungnya ada beberapa orang yang datang kemari. Keperluan sederhana seperti printing, cutting, dan cliping. Jadi ya seperti biasa masih tetap bisa dikerjakan secara santai. Dan di malam ini pun setelah satu pelanggan selesai dengan keperluannya, Julius berniat untuk segera menutup tokonya.

Dua anak yang dipekerjakannya juga ingin segera pulang untuk menyelesaikan tugas. Jadi ya mereka berpamitan dengan bos mereka terlebih dahulu.

"Baiklah, aku mau pulang dulu. Kita bertemu besok lagi bos"

"Oke, hati-hati di jalan. Terimakasih sudah membantu", timpal Julius senang.

Kelihatannya sudah beres semua. Perihal membersihkan tempat ini biasanya akan dilakukan siang hari sebelum toko buka. Jadi semua orang boleh pulang sesuka hati. Namun berbeda dengan Pak Hendri, dia masih asik disini dan mengetik didepan laptopnya. Layaknya seorang penulis lain, dialah yang paling betah duduk seharian hanya demi memikirkan apa yang akan ia tulis. Jika ada ide tentu tangannya akan bekerja, namun bila tidak ia hanya bisa melamun. Bahkan jiika dipikir-pikir, kegiatannya sama membosankan seperti dengan orang lain meskipun terdengar lebih produktif. Entah apa yang ia tulis, tapi kelihatannya sebuah novel fiksi?.

"Unm, apa banyak ide tulisan baru yang berdatangan hari ini?", tanya Julius

"Heh?, sejak kapan kau mulai tertarik dengan orang yang menulis buku?"

"Ya... begitulah hahaha"

"Tidak mudah bukan, menjadi sosok orangtua? apalagi bukan anak kandung sendiri", tanggap Pak Hendri yang mulai mengemasi barang karena berniat pulang.

Julius pun menunduk karena bingung harus menjawab apa. Sebenarnya ia ingin santai saja menghadapi masalah yang seperti tadi. Tapi sebagai manusia, ia juga kesal apabila permintaan sederhananya selalu dilanggar oleh seorang bocah yang sudah sangat dekat dengannya.

"Soal Zeyn... anak itu selalu saja susah dibilangi, sudah dewasa malah semakin ceroboh dan semaunya sendiri"

"Apa tadi itu tidak terlalu berlebihan?"

"Hah? ada apa memangnya?"

Dengan santai Pak Hendri kembali duduk di kursinya. Dia kembali menyeruput secangkir kopi yang sejak sore tadi sudah ada di mejanya dan belum sempat ia minum.

"Ada pepatah jawa lama yang mengatakan, Mikul dhuwur mendhem jero. Seharusnya kau juga sadar tidak semua hal berjalan dengan yang kau inginkan. Apalagi dengan menganggap kalau semua bisa kau atasi sendirian"

"Hmmm..."

"Zeyn bukanlah anak-anak lagi. Aku juga tidak memintamu untuk mulai tidak tegas, namun ada baiknya untuk mulai mempercayainya. Bagaimanapun... sebenarnya bisa saja dia lebih dewasa dari kita, mengingat dia juga sering bertemu Gusti Ratu"

Julius mendadak terserentak kaget karena mendengar nama itu. Tapi entah siapa yang dimaksud dengan 'Gusti Ratu' tadi, yang jelas ekspresi santai Julius malah berubah serius. Nama itu... seakan membuat bulu kuduknya merinding sampai membuat ia menelan ludah.

"Huft~ anda benar, mungkin aku terlalu keras sudah menarik kerahnya seperti tadi"

"Kena marah didepan orang lain seperti tadi pasti menyakitkan. Tapi, untung saja Aldi dan Pedro tidak ambil pusing"

Bersama kepalan kedua tangan, rasa ingin mengutuk diri ini merajam hatinya begitu dalam. Raut penyesalan langsung menghantui pria itu. Baru Julius sadari bahwa ia sudah mempermalukan anak angkatnya didepan orang lain.

The Endless Hollow IDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang