Bab 9

3.4K 503 62
                                    

Seseorang yang hampir selalu berpikiran dingin dan mengambil keputusan final tanpa memikirkan perasaan orang lain memang cenderung cerdas. Itulah Sasuke. Surat pemanggilan untuk Sasori telah resmi ditandatanganinya, juga ditandatangani direktur kepolisian Hatake Kakashi hanya dua jam setelah video itu diputar. Bukan keputusan yang salah memang, malah sangat benar. Tapi Sakura tetap saja sebal. Gadis itu tidak mau mengakui bahwa rasa sebalnya secara tidak profesional dibumbui oleh keputusan Sasuke untuk bungkam tentang apa yang terjadi semalam.

Sakura dan Kiba sedang berada di kantor mereka saat telepon dari Sasori tentang pemanggilannya ke kepolisian membuat mereka bergerak lebih cepat daripada biasanya. Sakura baru bertemu dengan pria berambut merah itu satu kali dan tak ada yang terlalu berkesan selain bahwa Sasori adalah penggemarnya.

Kiba berulang kali meminta taksi yang mereka tumpangi berjalan secepat mungkin dan pria itu hampir melemparkan uangnya saat taksi berhenti di halaman gedung kepolisian. Sakura mengikuti Kiba yang berlari terlalu cepat tapi gagal sampai ke lantai tiga berbarengan dengan pria itu dan malah berpapasan dengan Sasuke yang baru saja keluar dari ruang interogasi.

"Interogasinya sudah dimulai?" Tanya Sakura, masih terengah-engah setelah habis berlari tanpa henti.

"Baru akan dimulai," jawab Sasuke singkat. "Kau sebaiknya tunggu di luar. Ruangan itu sudah terlalu penuh."

Sakura mendengus. "Bukan ide yang bagus, Sasuke."

Sasuke mengangkat bahu. "Memang bukan. Tapi aku sungguh-sungguh saat mengatakan bahwa ruangan itu terlalu penuh."

Sakura mengerutkan dahinya saat mendengar ucapan Sasuke. Rasanya ada yang terdengar familiar.

"Ini bukan ide bagus," katanya setengah mengerang.

"Memang bukan." Dan Sasuke menyatukan bibir mereka, memberikan Sakura sebuah ciuman pertama memabukkan yang panjang.

Ingatan itu menghantamnya telak, diikuti ingatan lainnya. Ia telah melengkapi ingatannya semalam, dimulai dengan Sasuke yang menggendongnya, lalu...

"Sialan, Sasuke!" Umpatnya keras. Berpasang mata mengarah pada mereka. Ruangan itu tadinya dipenuhi oleh para polisi yang sibuk di depan komputer dan sekarang mereka semua menatap pada dua orang mencolok di depan ruang interogasi itu, yang sepertinya sedang mendebatkan sesuatu.

"Jadi, akhirnya kau ingat," kata Sasuke tenang, dengan suara yang membuat para pendengar selain Sakura penasaran setengah mati.

Sakura menghela napas, menahan amarahannya hingga di titik dimana ia bisa berbicara dengan pelan; sungguh sebuah keajaiban. Tapi sorot matanya dipenuhi kemarahan.

"Aku tak percaya kau mengambil keuntungan saat aku tidak benar-benar sadar," desis Sakura.

"Kau tidak berpikir begitu semalam."

"Aku mabuk. Aku tak sedang berpikir jernih."

"Kau hanya setengah mabuk," sanggah Sasuke. "Orang yang benar-benar mabuk tidak akan merespon."

"Oh, sangkal saja terus."

"Aku tak sedang menyangkal. Memangnya apa yang mesti aku sangkal?"

"Kau sedang menyangkal telah menjadi orang brengsek semalam."

Bagi orang-orang sekitar, percakapan mereka hanya terdengar seperti desisan ekspresif. Nyatanya mereka sedang mati-matian untuk tidak saling meneriaki. Setidaknya Sakura sedang berusaha untuk tidak berteriak.

"Justru jika aku tak melakukannya maka aku baru bisa disebut brengsek."

"Maksudmu mencium seorang gadis saat gadis itu mabuk bukan brengsek namanya?" Tanya Sakura sinis.

Save Her (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang