Chapter 11

433 23 11
                                    

Julian baru saja menyelesaikan makan malamnya bersama Angga, Arman, dan Pak Barli. Setelah membereskan piring-piring kotor, mereka masuk ke kamar masing-masing. Di kamar, Julian memutuskan untuk memainkan ponselnya membuka Instagram. Seperti biasanya Instagramnya selalu dipenuhi oleh Direct Message dari orang-orang yang tidak dikenal.

Ofan

Jul, bagi PR. Just now

Deliaputri18190

Jul, tanya PR boleh? 5s

Tariinadia_

Hai, Julian. Apakah kamu punya kembaran? 3h

Jessica_maladeina

Jul, folback dong… Ini IG gue. 3h

xxxz

Hai, kak! Follow aku dong. 7h

Cluivert

Follow me, Julian! 7h

Di antara pesan-pesan tersebut, Julian hanya fokus dengan satu pesan yang berasal dari akun @tariinadia_. Ia pun langsung membuka pesan tersebut.

Tariinadia_

Hai, Julian. Apakah kamu punya kembaran? 15:00

18:23 Memangnya kenapa? Apa maksudmu?

“Kenapa gadis ini menanyakan aku punya kembaran atau nggak? Dasar cewek aneh. Apa dia sedang penelitian? Atau mungkin dia tahu keberasaan Ivan? Ah, tapi mana mungkin dia mengenal Ivan.”

Beberapa saat Julian memilih menunggu pesan balasan dari akun tersebut. Namun, sang pemilik akun tak kunjung membalas.

“Kayaknya hanya untuk iseng doang. Ngapain aku tungguin.”

Julian memutuskan menaruh ponselnya. Ia memilih mengerjakan hal lain yang lebih berguna, mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru ssekolahnya Sementara itu, di sisi lain Ivan masih berada di kafe tempat ia bekerja.

“Van, Pak Bobby manggil kamu tuh. Kamu langsung ke ruangannya ya!”

“Siap, Mba. Setelah antar ini, saya langaung ke ruangannya.”

“Oke, deh.”

Setelah mengantarkan pesanan, Ivan segera menuju ruangan Pak Bobby, pemilik kafe. Pak Bobby memanggil Ivan ke ruangannya untuk membahas rencana pengunduran diri yang diajukan Ivan beberapa hari lalu.

“Kamu sudah yakin, Van? Jujur, saya suka dengan kerjamu. Kerjamu gesit, cekatan, dan kamu jarang sekali terlambat.”

“Saya yakin, Pak. Saya mau fokus belajar saja sesuai keinginan Bapak saya. Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Bapak berikan kepada saya untuk bekerja di kafe ini.”

“Baiklah, kalau itu yang menjadi keputusanmu. Ini gaji kamu selama bekerja di sini serta bonus yang saya berikan.”

“Terima kasih, Pak.”

“Terima kasih kembali. Semoga sekolahmu lancar ya!”

“Amin, Pak. Terima kasih. Saya pamit pulang dulu.”

“Silakan.”

Ivan keluar dari ruangan. Setelah berpamitan dengan rekan kerjanya yang lain, Ivan memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, ia bertemu Tari.

“Tari, kamu ngapain di sini?”

“Papa dan Mama baru saja pulang.”

“Bagus, dong. Bukannya kamu sangat mengharapkan mereka pulang?”

“Iya, tapi mereka datang langsung marah-marah sama aku. Membahas masalah yang jelas-jelas sudah lewat. HPku juga disita.”

“Kamu yang sabar. Aku antar kamu pulang ya? Ayo!”

“Nggak! Aku nggak mau pulang, Van.”

“Kalau kamu nggak pulang, kamu memangnya mau ke mana?”

Tari terdiam. Jujur, ia sendiri bingung harus ke mana. Rumah teman-teman perempuan sekolahnya? Itu nggak mungkin. Sejak ia tinggal kelas, teman-temannya yang sekarang kelas 11 pun mana ada yang peduli. Kalau teman-teman sekelasnya, tidak ada yang dekat. Hanya Ivan teman yang ia punya.

“Aku juga nggak tahu. Nggak mungkin juga aku nginap di rumahmu, Van.”

“Ya sudah, aku antar kamu pulang.”

Tiba-tiba perut Tari berbunyi.

“Kamu belum makan malam, Tar?”

“Belum, tadi sore aku ketiduran. Baru bangun sekitar jam 9an.”

“Oh, gitu. Ya sudah, kamu mau temani aku makan nasgor? Kebetulan aku juga belum makan malam.”

“Hmm, aku nggak bawa uang sama sekali.”

“Tenang, aku baru gajian. Kali ini aku yang traktir deh.”

“Ah, aku nggak enak sama kamu. Itu ‘kan gaji pertama kamu. Sebaiknya disimpan saja.”

“Nggak apa-apa, Tar. Aku ikhlas kok. Ayo, naik! Aku sudah lapar banget nih.”

“Ya, sudah. Aku temani.”

“Nah, gitu dong. Ayo!”

Tari pun naik berboncengan dengan Ivan menuju tukang nasi goreng yang dimaksud. Sesampainya di sana, Ivan langsung memesan dua porsi nasi goreng.

“Ayo, dimakan! Jangan cemberut terus.”

“Iya, iya. Aku makan nih sekarang.”

“Kok makannya sambil cemberut sih? Senyum dong.”

“Apaan sih, Van! Makan kok harus senyum?”

“Ya, harus dong. Tandanya kamu bersyukur masih bisa makan atau kamu nggak suka nasi gorengnya? Maaf, aku hanya bisa traktir kamu di tempat seperti ini.”

“Suka kok, Van. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku memang kalau lagi kesal suka nggak mood makan.”

“Oh, gitu. Kalau lagi kesal tetap harus makan, Tar. Marah-marah ‘kan butuh energi juga. Kalau kamu nggak makan, nanti lemas bagaimana? Lanjut makannya.”

“Iya, iya.”

Mereka melanjutkan makan nasi gorengnya. Setelah selesai, Ivan langsung mengantarkan Tari pulang ke rumahnya.

“Sekarang kamu masuk, Tar.”

“Aku… takut mereka masih marah.”

“Mau aku temani masuknya?”

“Hmm, nggak usah. Aku bisa masuk sendiri.”

Okay, deh.”

Bytheway makasih traktirannya.”

“Sama-sama, Tar. Selamat istirahat.”

“Kamu hati-hati di jalan. Makasih juga sudah anterin aku pulang.”

“Sama-sama. Bye, Tar.

Setelah Ivan pergi, Tari memutuskan untuk masuk ke rumahnya.

“Pulang lagi kamu? Katanya nggak akan balik lagi,” sinis kedua orang tua Tari.

“Tari lelah, mau istirahat!”

“Tari, Papa dan Mama belum selesai bicara sama kamu!  Kita lanjutkan besok ya?”

“Iya, lanjut besok aja!” jawab Tari enteng.

To be continued... 🌊
©2022 By WillsonEP

The Twins Julian & JulivanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang