19. Hujan

12 8 0
                                    

"Sekali lagi, ayo kita egois."

Awan melepaskan pelukannya. Mengusap air matanya kasar. Gadis itu menggeleng. "Gak Langit. Aku gak mau. Jangan paksa aku."

Langit menghela napas kasar. Awan benar-benar keras kepala. "Mereka yang sukanya cuma sepihak bakal kalah sama kita yang saling suka!"

Awan berbalik. Melirik Langit dengan ekor matanya. "Jawaban aku tetap sama." Meninggalkan Langit sendirian.

Laki-laki itu membanting tubuhnya ke atas sofa usang. Memejamkan matanya meredam perasaan yang kacau.

Di koridor, Awan berpapasan dengan Seanna. "Se, gue mau cerita." Menarik tangan Seanna dan membawanya menuju taman belakang sekolah.

Kedua gadis itu duduk di kursi kayu panjang.

Seanna mengernyit saat melihat mata Awan yang sembab. "Lo habis nangis?"

Awan menggeleng. "Lo dengerin gue cerita." Seanna mengangguk.

Awan mulai menceritakan apa yang terjadi padanya dan juga Langit. Emosi Seanna meluap saat mendengarnya.

"Gue sedih Se, Tari gak kayak dulu lagi yang kita kenal. Dia berubah. Dia sadar gak sih kalo sikap dia itu salah? Yang paling bikin gue kecewa waktu dia dorong gue. Itu dorongnya bukan karena gak sengaja, tapi emang sengaja!"

Seanna memegang kedua pundak Awan. Menatap serius gadis itu. "Kali ini, gue beneran dukung lo untuk egois sama Langit."

"Tapi--"

"Percaya sama gue. Lo harus egois. Stop mikirin orang lain! Stop ngejaga perasaan orang lain tapi perasaan sendiri malah sakit! Pokoknya, lo harus ikuti apa yang dibilang Oza. Egois."

Awan terdiam sesaat. Hatinya merasa bimbang. Tak lama gadis itu mengangguk kaku. Sudah cukup ia sakit. Sudah cukup dia menjaga perasaan orang lain. Kali ini saja, dia ingin egois.

Seanna mengacungkan jempolnya. "Bagus!"

****

"Kusut amat tu muka!" ujar Arkha ketika Langit baru saja masuk ke dalam kelas dan duduk di sebelahnya.

"Galau gue Kha." Menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.

Arkha tertawa mengejek. Menepuk pundak Langit. "Kasian, abis dimarahin sama ayang ya?"

Langit mengangguk. Ekspresinya berubah pura-pura menangis. "Sakit hati ini Kha! Rasanya begitu menyakitkan!" Memukul dadanya berulang kali dramatis.

Ekspresi Arkha juga ikut-ikutan pura-pura menangis. Merangkul Langit. Memukul punggung laki-laki itu. "Yang sabar Za! Hidup ini emang berat."

"Iya Kha, gue kuat kok!" Menghapus air mata buayanya.

Arkha mendorong Langit dengan tiba-tiba. "Udah lah asu! Geli gue!" Seketika tubuhnya mendadak merinding.

Langit tertawa. Setidaknya, rasa sakit di hati sedikit berkurang. Wajah Langit kembali datar saat Mentari datang menghampirinya.

"Za, gue bikin kue. Nih cobain!" Memberikan kotak makanan untuk laki-laki itu.

"Gak mau! Gue cuma makan kue buatan Bunda sama Azura. Dan lo Tari--" Menunjuk gadis itu tepat di wajahnya. "Berhenti ngejer-ngejer gue! Sampe kapan pun, gue gak akan pernah suka sama lo! Karna gue sukanya sama Azura! Inget itu!"

Mentari terdiam. Wajah gadis itu merah padam merasa kesal dan juga marah. Dia mendapat penolakan secara terang-terangan dari Langit. Bahkan dia tidak bisa berkata apa-apa pada laki-laki itu. Mentari berbalik berjalan menuju kursinya.

Langit Favorit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang