Gedung Pegadaian yang terdiri dari 5 lantai, yang sama sekali tak mengalami kerusakan apapun, padahal mobil van putih yang membawa bahan peledak dalam jumlah besar -- dan meledak tepat di area parkiran gedung tersebut, langsung menjadi pusat pemberitaan dimana-mana.
Sungguh di luar nalar dan akal sehat, saat mobil itu meledak dengan kekuatan maha dahsyat, menghancurkan seluruh mobil yang terparkir, hingga membuat hancur kaca jendela bangunan lainnya, namun tidak gedung satu itu.
Bahkan pintu masuk kaca tersebut, yang hanya berjarak beberapa meter saja, tak mengalami sebuah keretakkan kecil sekalipun.
"Rangga, jangan bengong gitu dong.." Gandis meremas pelan sebelah pundak rekannya itu.
Dengan perasaan gamang, dia buka laci meja kerjanya. Dia merasa, dia masih menyimpan benda itu. Meski dia sendiri tak bisa mengingat dengan jelas, menyimpannya dimana.
Hingga dia menemukan dompet lamanya yang sudah cukup usang, dengan banyak sobekan dimana-mana.
"Ternyata memang benar.." Tangan dan suaranya ikut bergemetar, saat dia mengeluarkan selembar foto kuno dari dalam dompet tersebut.
Gandis menarik kursinya, mendekat padanya. "Itu kamu, Ga..?" Namun mata Gandis seketika terbelalak, saat dia melihat sosok yang sedang berfoto bersama dengan rekan kerjanya itu. "Orang itu, kan...!?"
Rangga menatap pada Wulan yang sedang duduk di balik mejanya, dengan berbagai pikiran berkecamuk.
Sampai dia merasa yakin, barulah dia mendekati atasannya itu. Meski dia tidak tahu, bagaimana reaksi komandannya itu nantinya.
"Komandan.."
Wanita berambuk pendek itu bahkan belum mengangkat kepalanya. Hanya saja kedua matanya, sudah membulat sempurna.
Rangga mengangguk, saat matanya beradu pandang dengannya.
"Foto itu saya ambil, ketika pertama kalinya saya mendaki. Tepatnya setelah saya lulus SMP."
Wulan mengambil sebuah bingkai foto, yang ada di atas meja kerjanya. Kemudian dia bandingkan sosok yang ada pada foto itu, dengan sosok yang ada dalam foto bawahannya itu.
"Mirip sekali dengan almarhum kakaknya Komandan Wulan...!" Gandis memekik.
"Sebenarnya, bukan hanya sekali saya ditolong olehnya.."
"Hah? Bukan sekali bagaimana, Ga?" Jimmy pun ikut penasaran.
"Saat sedang mendaki Merbabu, itulah pertama kalinya saya melakukan pendakian, dan bertemu dengannya."
"Kamu diselamatkan atau gimana?" Tanya Gandis.
Rangga tersenyum kikuk. "Awalnya saya takut, kalau dia bukan manusia. Akan tetapi, keraguan saya dipatahkan saat dia mengumandang adzan dengan suaranya yang sangat indah..."
"Nggak mungkin! Jelas nggak mungkin!" Gandis geleng-geleng.
"Dan yang membuat saya tak percaya adalah, saat semua binatang tiba-tiba saja berkumpul mengelilinginya.."
"Kan memang jelas, kalau di hutan itu adanya binatang, Rangga..."
"Lalu, saya kembali bertemu dengannya saat sedang mendaki Rinjani." Rangga melanjutkan. "Saya benar-benar tak menyangka, karena dia ada di puncak, bersama dengan pendaki-pendaki lainnya. Hanya saja --- dia masih tetap memakai pakaian yang sama.."
"Seriusan, Ga?" Mata Gandis membulat.
Rangga mengangguk. "Padahal itu terjadi lima tahun kemudian. Dan, tidak ada dari pendaki itu yang bisa melihat keberadaannya, selain saya..."
Mata Wulan berkaca-kaca. Keajaiban itu selalu ada. Hanya saja, apa yang terjadi saat ini --- haruskah baginya untuk bisa mempercayai sesuatu yang sangat tidak masuk akal ini..?
"Lalu saat saya mendaki Semeru."
"Ternyata kamu hobi mendaki juga.." Gandis manggut-manggut.
"Saat saya terjatuh ke dalam jurang, di saat itulah dia datang menyelamatkan saya." Suara Rangga terdengar goyah. "Saya merasa seluruh tubuh saya sudah hancur dan remuk. Hingga tidak ada lagi harapan saya untuk bisa hidup.." Rangga memijat-mijat tengkuknya. "Kemudian, ada burung kecil yang selalu berkicau di atas dada saya. Seolah burung itu sedang menemani di saat-saat terakhir hidup saya.."
"Rangga..."
"Sampai kemudian, samar-samar saya melihat wajah seseorang. Hal yang saya dengar sebelum akhirnya saya pingsan adalah --- tempat ini bukanlah takdir akhir kehidupanmu. Atas izin Allah, kelak nanti kita akan dipertemukan kembali..."
"Apa orang itu lagi yang ---" Gandis menelan ludah. "Sumpah, saya merinding..."
"Sampaikan salamku pada Wulan.." Rangga kembali melanjutkan ceritanya.
"Komandan..."
"Selama bertahun-tahun saya terus memikirkan nama itu. Sampai kemudian pada akhirnya saya sadar --- kalau Wulan yang dimaksud adalah..."
Sebulir air mata Wulan akhirnya jatuh juga.
"Meskipun dia tidak bisa melihatku namun disini aku akan selalu menjaganya. Sampai hari itu tiba --- hari dimana aku bisa kembali bertemu dengannya..." Rangga menghela pelan. "Begitulah yang dikatakan terakhir kalinya.."
• • •
KAMU SEDANG MEMBACA
Life After
Mystery / ThrillerDia tak pernah berhenti bersinar, meski pekat menyelubunginya... Dia hanyalah manusia biasa, namun lihat betapa alam sangat mengasihinya... Ketika helai rambut terakhirnya berubah memutih... disaat itulah sang waktu kembali menjemputnya... Bukankah...