2

556 46 6
                                    

"Bu, Uta bingung sekali..."

Dadanya kian terasa sesak, saat dia merasakan air mata anak sulungnya itu, mengenai tangan kanannya.

"Seharusnya Uta saja yang sakit, bu. Bukan ibu..."

Dia ingin sekali membuka kedua matanya. Memeluk anaknya. Membesarkan hatinya, meski dia sendiri tak cukup kuat untuk melakukannya.

"Kalau ibu meninggal, Uta harus bagaimana...?" Air mata anak perempuan itu semakin tak terbendung. "Sekarang, kita sudah tidak punya rumah lagi, bu..."

Kebakaran hebat yang terjadi, memang telah menghanguskan rumahnya yang kecil dan sederhana, beserta dengan segala isinya.

Dan musibah itu terjadi, saat dirinya tengah terbaring di rumah sakit, dengan tumor ganas yang terus menggerogoti isi kepalanya, selama 2 tahun lamanya.

"Harusnya Uta saja yang sakit, dan meninggal. Bukannya, ibu..."

"Kakak, aku lapar..."

Cepat-cepat, Uta menghapus air matanya. Dia ingat, bahwa dia dan kedua adiknya memang belum makan sejak pagi. Sedangkan, kini langit sudah berubah menjadi gelap.

"Kita beli nasi sama fried chicken di depan, ya.."

Kedua adiknya mengangguk kompak. Meski cuma fried chicken murah yang dijual di gerobak pinggir jalan, namun Uta tahu, bahwa itu adalah makanan kesukaan kedua adiknya.

"Kakak cuma bisa beli satu. Nanti kalian jangan rebutan.."

"Iya, kakak.."

Setelah menunggu agak sekian lama, barulah wanita kurus, berwajah pucat itu berani membuka kedua matanya. Dengan perasaan berkecamuk, dia hanya bisa menatap langit-langit kamar rumah sakit.

Meski dokter telah memvonis, bahwa hidupnya hanya tinggal beberapa bulan lagi, namun keinginannya untuk tetap hidup itulah, yang membuat dia bisa menahan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya.

Ketiga anaknya itulah, yang membuat segala sisa-sisa kekuatan dalam tubuhnya mencuat.

"Saya harus kuat, Ya Allah. Kalau saya tidak kuat, bagaimana mungkin Uta bisa melewati semua ini dengan kedua adiknya...?"

"Assalamualaikum..."

Kepalanya menoleh dengan pelan sekali. "Waalaikum --" Hanya itu yang bisa terucap keluar dari mulutnya.

Dipandanginya, sesosok remaja yang mungkin saja tingginya, tak lebih tinggi darinya.

Namun tiba-tiba saja kedua matanya membelalak. Tubuhya bergemetar hebat. Dia merasakan, rasa dingin teramat sangat, bahkan hingga menusuk tulang-tulangnya.

"Maaf kalau aku menganggu waktu istirahatnya.." Sosok itu tetap berdiri, meski ada 2 kursi kosong, di dekatnya. "Ibu Yusna..." Dengan senyum tipis di wajahnya, dia raih tangan kanan wanita itu. "Janganlah sekali-kali, anda berburuk sangka atas takdir Allah SWT."

Wanita itu memejamkan kedua matanya. Dia rasakan hawa panas, menjalar di sekujur tubuhnya. Sungguh rasa yang sangat menyiksa, hingga membuatnya ingin berteriak.

"Bangun, dan bangkitlah. Karena takdir kehidupan anda, tidak akan berakhir disini.."

"Allahu Akbar..." Hanya beberapa detik saja, rasa panas menyiksa itu, kini berganti dengan sesuatu yang sangat sejuk. Rasa sakit yang selalu mendera kepalanya, kini mendadak hilang begitu saja.

Life AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang