1.

9.6K 392 5
                                    

***

November, 20xx

Wonwoo duduk termenung di tempatnya. Matanya menatap kosong polaroid kecil di tangannya. Polaroid yang menampilkan sebuah gambar tangan mungil yang menutupi wajahnya. Terlihat malu untuk menampakkan wajahnya pada orang-orang yang penasaran akan kehadirannya di luar sana.

Grep

Wonwoo menelan ludahnya kasar saat melihat sebuah tangan besar yang ikut menangkup tangannya dari bawah. Tanpa melirik pun ia tahu siapa pemilik tangan itu.

"Dia.. Bayi yang sehat.."

Seakan tak mendengarnya, Wonwoo nampak biasa saja dan tidak berekspresi apapun. Nampak tidak peduli dan semakin larut dengan pikirannya sendiri.

"Kamu pasti lelah hm? Ayo"

Lagi-lagi pria manis itu hanya diam di tempatnya. Tak menanggapi atau bergerak sedikitpun. Membuat pria dewasa yang duduk di sampingnya harus lebih bersabar lagi untuk membujuk pria manis itu.

Dengan lembut dan perlahan, ia menarik pelan lengan Wonwoo. Mengajak pria manis itu untuk beranjak dari tempat mereka sekarang dan segera pulang ke rumah.

.

Selama di perjalanan Wonwoo sama sekali tidak membuka mulutnya. Ia hanya duduk dengan tenang sembari mengamati pemandangan di sepanjang jalan tanpa minat. Lebih tepatnya, ia melamun.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima belas menit, mereka pun sampai di rumah. Wonwoo turun dari dalam mobil setelah dibukakan pintu. Lalu berjalan perlahan memasuki rumah tersebut dengan seorang pria dewasa yang menuntunnya.

"Istirahatlah.. Jika butuh sesuatu, bilang saja em?" Wonwoo mengangguk kecil. Hanya begitu. Tidak bersuara sama sekali.

Selepas kepergian pria itu, Wonwoo langsung menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Terduduk dengan mata memerahnya yang banjir akan air mata.

"Hiks.." isakan-isakan lirih pun mulai terdengar. Bahkan kini disertai dengan suara sesenggukan dan nafas yang tersenggal.

Cklek

"Astaga!"

Mingyu segera menghampiri Wonwoo yang terduduk di lantai sembari menangis.

"Wonwoo.. Wonwoo.." bisik Mingyu sembari memeluk tubuh Wonwoo yang bergetar di pelukannya. Dan kini tangisannya semakin menjadi. Bahkan kedua tangannya ikut terkepal kuat. Menunjukkan seberapa besar emosi yang coba di tahan oleh pria manis itu.

"Tenang Wonwoo.." bujuk Mingyu. Ia berusaha membuka kepalan tangan Wonwoo agar tidak melukai dirinya sendiri.

"Hiks-hiks.. kenapa-hiks.. Kenapa begini! Hiks"

"Aku benci—hiks! Aku benci semuanya! Hiks-hiks"

"Aku membenci anak ini! Kenapa dia harus ada?! Kenapa?!" Pekik Wonwoo di sela tangisnya. Menumpahkan seluruh keresahan yang ada di hatinya. Mengeluarkan semua hal yang mengganjal di dalam benaknya. Semua hal yang membuatnya sesak dan merasakan beban berat.

Mingyu menahan tangan Wonwoo yang berusaha menyentuh perutnya sendiri. Ia takut pria manis itu akan melukai janin kecil yang tengah tumbuh di dalam sana.

"Wonwoo.."

"Kenapa.. Hiks—kenapa aku ssaem..?" Wonwoo melemah. Bahkan ia kini sudah sepenuhnya terduduk sembari bersandar lemas di pelukan Mingyu.

"Itu kecelakaan.. Hiks.. Hanya sekali.. Kenapa dia langsung ada?! Aku tidak ingin begini! Hiks-hiks.. Saem.. hiks"

Wonwoo meraung. Menyesali semuanya yang bahkan tidak akan mengubah apapun. Menyalahkan Mingyu yang dengan bejatnya menyetubuhinya disaat ia masih berusaha membangun masa depannya. Menyalahkan dirinya sendiri yang dengan mudahnya terlena dengan ajakan gurunya itu.

"Maaf.. Maaf Wonwoo.." gumam Mingyu penuh penyesalan.

Menyesal? Sangat. Ia sudah menghancurkan masa depan seorang remaja yang bahkan baru duduk di bangku kelas 11 karena kebodohannya.

Mingyu benar-benar merasa marah pada dirinya sendiri. Ia juga sama frustasinya seperti Wonwoo. Ia juga sama menyesalnya seperti Wonwoo. Ia juga ikut mengutuk dan menyalahkan takdir sama seperti Wonwoo.

Disaat seperti ini, menyalahkan adalah hal yang paling lumrah untuk dilakukan. Entah menyalahkan siapa, yang jelas meluapkan emosi dan penyesalan dengan melempar kesalahan adalah hal paling mudah yang dapat di lakukan.

Tanpa menyadari jika itu semua adalah ulah mereka sendiri.

"Aku akan bertanggungjawab.." bisik Mingyu menenangkan Wonwoo yang semakin melemah di pelukannya. Ia mengecup dahi Wonwoo yang tak lagi bertenaga. Seolah akan kehilangan kesadarannya di detik selanjutnya.

"Aku ingin mati saja ssaem.." gumam Wonwoo begitu lirih. Bahkan matanya mulai terpejam perlahan. Dan tak lama kemudian, ia benar-benar kehilangan kesadarannya di pelukan Mingyu.

"Wonwoo..?" Mingyu panik. Ia lantas mengangkat tubuh muridnya itu. Membawa tubuh kurus itu ke atas ranjang dan membaringkannya secara perlahan disana.

"Aku akan merawat kalian.. Aku bersumpah" bisik Mingyu lagi.

Ia mengusap wajah Wonwoo. Menghapus air mata yang membasahi kedua pipinya. Lalu beralih untuk mengusap puncak kepalanya.

Pandangannya kemudian turun. Menatap perut Wonwoo yang memang mulai terlihat menyembul dari balik kaosnya.

Usianya kini hampir 6 bulan. Dan dokter bilang, janin itu sangat sehat sehingga dapat tumbuh dengan baik di dalam perut Wonwoo.

Perlahan ia mengangkat sebelah tangannya. Memberanikan diri untuk menyentuh dan berkontak dengan hasil ulahnya beberapa bulan lalu.

"Baby.." suaranya tercekat saat mengucap panggilan itu. Tangannya bergetar, matanya pun ikut memanas dengan genangan air yang memenuhi kantung matanya.

"Ini ayahmu.. Ayah akan berusaha untuk menjaga kamu dan Papamu.."

"Tolong jangan menyusahkan Papamu, em? Jangan membuatnya mual terus.. Jadilah anak patuh dan tumbuhlah dengan baik" Mingyu mengusap pelan perut itu. Berusaha selembut mungkin agar tidak membangunkan Wonwoo yang masih memejamkan matanya.

'Aku akan berusaha demi kalian'

***

TAKDIR [Meanie]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang