Masih cinta

6 0 0
                                    

Dikediaman Ibra kini Ratna tengah berkutat didapur memasakkan sup ayam untuk kedua anaknya, yakni Ana dan Ibra.
Putri angkatnya itu juga ikut sibuk membuatkan coklat panas untuk Ibra.

"Udah Na, biar tante aja... Kamu istirahat gih nanti sakit loh." ucap Ratna.

"Ga papa tan, lagian tuh liat anak tante kasian kan. Baru main ujan sebentar aja udah kaya orang mau di opname." kata Ana sambil menunjuk Ibra yang berada diruang atengah dengan gulungan selimut dibadannya.

Ratna menengok sekilas kearah Ibra, dia hanya menggeleng melihat tingkah putranya itu. Sesekali ada rasa syukur atas hadirnya Ana dalam kehidupan Ibra. Semenjak hadirnya Ana, Ratna merasa Ibra semakin tumbuh dengan pemikiran yang dewasa, bertanggung jawab, dan lebih terbuka. Berbeda sekali dengan dulu yang diam dan tak peduli dengan orang lain.

"Oke, aku anter ini dulu ya Tan," kata Ana dengan membawa satu cangkir coklat panas ditangannya.

"Punya mu mana?" tanya Ratna saat melihat Ana hanya membawa satu cangkir coklat.

"Gampang, nanti aja. Ana lagi nggak pengen." ucap Ana lalu melenggang pergi dari dapur.

Ratna menatap dalam pada punggung yang kian menjauh,

"Laras, putrimu cantik Ras. Dia baik, sama kaya kamu." Batin ratna dengan mengenang mendiang sahabatnya itu.

Kini Ibra tengah menggigil kedinginan diruang tengah. Meski sudah dibalut selimut laki laki yabg tidak suka hujan itu masih merasa dingin.

"Ini, diminum ya" kata Ana sambil meletakkan segelas coklat panas dimeja.

"Thanks Na" kata Ibra.

"Lo gak minum?" tanya Ibra setelah menyeruput pelan coklat panas miliknya.

"Enggak. Gua ke kamar dulu, nanti gua turun kalo waktunya makan." Kata Ana lalu berlalu pergi menaiki tangga.

Ibra memperhatikan Ana yang mulai berjalan menjauh. Gadis pendiam itu, ah.. Kapan dia tumbuh sehebat itu? Punggung kecilnya amat kokoh sampai badaipun sepertinya tak akan membuatnya roboh. Ibra tersenyum bangga pada Ana. Walaupun baru mengenal beberapa bulan lalu, Ibra merasa Ana tengah mengubah sebagian hidup Ibra. Ibra menyadari itu, dalam hati dia selalu berjanji untuk melindungi Ana seperti dia melindungi adiknya sendiri.

***

Dikamar bernuansa gelap itu Ana tengah membuka tulisannya, jari jarinya lihai mengetik beberapa kata menjadi sebuah kalimat untuk ceritanya.

"Aishh... Oke, stop dulu Na." katanya setelah kehabisan ide untuk ceritanya. Dia menatap tumpukan buku hitam disudut meja, lalu otaknya memutar kejadian di kafe beberapa jam lalu.

Dia menarik nafas panjang mencari tenang dalam riuhnya isi kepala. "Ah sial, Masih sakit ternyata." ucapnya sambil memegang dada kirinya, senyum pilu itu kembali terlihat.

"Padahal sudah cukup lama, tapi dia masih membawa pengarus besar pada rasa yang gua terima. Aishhh"

"Kenapa sih, Na? Kenapa? Kenapa lo gak bisa lupain dia?" ujarnya kesal pada dirinya dan tanpa sadar memukul ringan kepalanya sendiri.

"Bego!" pada akhirnya dia menyerah. Wajahnya berubah sendu, dia merasa lelah. Lelah karena terus melawan perasaannya cukup lama, dia terus membohongi dirinya sendiri dengan kata dia sudah melupakan cinta pertamanya.

"Maaf aku berbohong untuk semuanya.
Tentang aku yang berkata telah lupa, maaf. Nyatanya kamu masih menempati singgahsananya, disudut terdalam walau tertutup luka hingga tak terbaca.
Kamu... Masih menjadi pemeran utama."

-aNA-

Tulisanya dalam lembar buku bersampul hitam.

Tok tok tok...

"Gua masuk!" ucap orang diluar sana. Tak lama kemudian pintu terbuka.

"Mamah buatin lo susu, jangan lupa diminum" ucap Ibra sambil meletakkan segelas susu di atas nakas.

"Masih nulis?" tanya Ibra saat melihat laptop Ana yang masih menyala.

"Masih." jawab Ana singkat lalu berjalan mengambil susu dan duduk disamping Ibra yang sudah mendudukkan dirinya di sisi tempat tidur milik Ana.

"Yahhh sayang banget ya gua gak hobi baca, kalau aja gua suka baca gua pasti jadi pembaca setia cerita yang lo buat." kata Ibra.

"Halahhh gak usah, gua gak butuh pembaca kaya lo." ucap Ana menanggapi perkataan Ibra.

"Yeee!! Lumayan tau walaupun kaya gua, tapi satu pembaca berpengaruh besar buat penulis. Gini gini gua juga tau gimana susahnya nulis di media yang saingannya banyak." kata Ibra, Ana membenarkan semua perkataan Ibra.

"Menurut lo, tulisan gua ada yang minat nggak?" tanya Ana. Mengingat tulisannya yang sepi pembaca dia jadi pesimis untuk menamatkan ceritanya. Apalagi belakangan ini dia kehabisan ide untuk melanjutkan tulisannya, hal itu semakin membuat Ana frustasi.

"Tenang, semua itu berproses Na. Gua yakin walaupun gua belum baca tapi tulisan lo pasti bagus dan banyak yang nungguin karya lo selanjutnya." jawab Ibra.

"Yaudah, istirahat." kata Ibra lalu beranjak dari sana.

"Ibra," panggilan Ana menghentikan langkahnya, membuat Ibra membalikkan badan menatap gadis itu.

"Menurut lo, kalau orang di masa lalu lo datang lagi. Lo perlu ngasih tempat yang sama kaya dulu nggak?"

"Em... Tergantung, lo siap nggak kaya dulu lagi? Gini ya, mau dia ngasih bahagia atau kesedihan karena dia masalalu lo, pasti lo pernah ngerasain sebelumnya. Jadi, ngasih tempat atau enggak tergantung lo siap nggak ngalamin hal yang sama?"
Jawab Ibra lalu kembali melangkahkan kakinya keluar dari kamar Ana.

Sementara Ana diam mematung membenarkan jawaban Ibra.

Disisi lain dia sadar bahwa yang ia dapat dari Akbar hanya kesakitan karena cinta yang tak terbalas, tapi dia ingin memperjuangkan satu kali lagi untuk cinta pertamannya itu.
Kehadiran Akbar kali ini seolah sebuah jawaban dari tuhan untuk Ana untuk berjuang sekali lagi.

Dan mungkin kebanyakan perempuan seperti itu, mereka seringkali menghubungkan kebetulan demi kebetulan lalu menyimpulkan sendiri tentang apa apa yang kiranya belum pasti. Apalagi perilhal hati, tak jarang mereka melambungkan harapannya begitu tinggi menghayal terlalu jauh hanya karena kebetulan kebetulan yang terjadi.

Muhammad Akbar, nama itu terus terngiang di kepalanya. Tapi mengingat kenyataan bahwa Akbar telah menemukan tambatan hatinya, Ana kembali terpuruk menerima patah hati yang tak pernah tersampaikan.

Tling...

Bunyi ponsel milik Ana menyadarkannya dari lamunan.

Terlihat notifikasi pesan dari temannya Resa dilayar depan.
Tak lama dari itu Zira menelfonnya.

"Iya, kenapa Ra?" tanya Ana.

"Ada undangan reoni SMK, mau ikut nggak?" tanya Resa disebrang.

"Gak tau ah, males.  Lo kan tau sendiri gimana masa smk gua. " kata Ana.

"Kak Akbar ikut,  lo yakin nggak mau dateng? " tanya Resa mencoba meyakinkan Ana.

"Yah, paling dia dateng sama ceweknya. " jawab Ana.

"Sama siapa?  Kak Reina?"

"Iya. " jawab Ana singkat dengan nada sedikit malas.

"Lo yakin mereka masih berhubungan? "

"Yakin seratus persen,  orang gua tadi liat mereka berdua makan bareng. Dan dengan jelas kak Akbar ngenalin Reina sebagai pacarnya ke gua. " Ana bercerita dengan menggebu gebu.

"Gila,  awet juga ya. "

"Ck. Gak asik lo. "
"Udah ah,  gua mau tidur. " sambung Ana kemudian mematikan ponselnya.

"Apa tadi?  Reoni?  Ajang menyombongkan pencapaian sih, iya!" Gerutunya dalam hati.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang