Ana dan lukanya

2 0 0
                                    

Sudah tiga hari semenjak Ana dipindahkan di ruang rawat inap. Zura dan Ratna masih setia menemani Ana yang hanya terdiam ditempat tidurnya.

"Rayana, makan dulu ya sayang... Tante bawain makanan kesukaan kamu loh... " Ucap Ratna gembira dengan segudang sesak yang hampir menumpahkan air matanya.

Sudah tiga hari Ana tak menyuap nasi sama sekali, berkali kali dibujuk pun Ana tetap diam seolah menjadi patung bernyawa.
Tak kuasa melihat keadaan putrinya Ratna segera beranjak setelah menyiapkan makanan diatas meja.

Saat hendak keluar ruangan tepat saat itu pula Ibra dan ayahnya, Bayu sudah ada didepan pintu. Ratna segera berlari menghambur kepelukan suaminya. Sementara Ibra diam mematung melihat kondisi sahabatnya. Melihat kedatangan Ibra Zura memutuskan untuk keluar ruangan.

"Tenang, yang kuat. Kontrol emosi lo." Kata Zura sembari menepuk pelan bahu Ibra.

Langkah Ibra terasa berat saat hendak mendekati Ana. Dia seperti melihat sosok lain yang tak pernah ia lihat dalam tubuh Ana.

"Suruh dia makan, dia gak makan berhari hari. Badannya cuma dikasih makan lewat infusan doang." Sambung Zura sebelum benar benar pergi dari sana.

Hembusan nafas berat terdengar, Ibra berusaha menguatkan dirinya berdiri tepat di hadapan Ana.

"Sorry gua telat." Ucapnya, Ana tak menggubris sama sekali.

"Kalo bukan karena gua yang nyuruh lo nemuin si brengsek itu, lo gak mungkin kaya gini, Na." Lanjutnya.

"Pergi." Kata Ana tanpa memandang Ibra. Air matanya jatuh satu persatu.

Bukannya pergi, Ibra semakin mendekatkan langkah nya. Tangannya terulur ingin mebgusap air mata sahabatnya. Namun ditepis begitu saja oleh Ana.

"Gua bilang PERGI!" Ana berteriak berharap manusia dihadapannya ini enyah seketika.

"Pergi!! Gua bilang pergi!! Jangan deketin gua!! " Teriak Ana saat melihat Ibra semakin mendekat ke arahnya.

"Pergiiiii!!!!" Ana berteriak semakin keras, Ibra langsung membawa Ana masuk dalam dekapan nya. Ana memberontak keras, tapi Ibra semakin memeluknya. Didekaplah ia dengan sangat erat dengan segala kehancuran yang ia rasakan.

"Pergi!! Jangan deketin gua!! Hiksss gua aja jijik sama diri gua sendiri!!! Gua mohon pergi!! Hiksss...."

"Pergi... Hiksss... Gua mau pergi... Hiksss... Gua capek... GUA CAPEK!!! ARRGGHHHHH!!!! "

Tes... Tak terasa air mata Ibra ikut mengalir melihat Ana yang sudah hancur berantakan. Ibra mengusap lembut surai Ana berusaha menenangkan, sementara Ana semakin mencengkram erat kemeja Ibra penuh amarah, kekesala, kesesakan, dan putus asa.

"Hiksss... Hiksss... Gua mau pergi... Gua capek... Gua mau pergi Ibra... Gua mau pergi... Hikssss hiksss..."

"Bundaaa... Ana mau pergi... Hiksss..."

Ana menatap dalam netra sahabatnya dengan sorot lelah penuh permohonan.
"Tolongin gua Ibra... Hiksss... Ibra... Gua mau pergi... " Kata Ana, dada Ibra semakin sesak seperti terhantam beban berat yang tak bisa ia lepaskan.
Nafas Ana tersendat sendat, matanya menatap kosong tak bergairah. Dia putus asa.

Dalam hati Ibra berkali kali ia mengucap maaf untuk sahabatnya, ia menyalahkan dirinya atas apa yang menimpa Ana. Dia menyesal atas keputusannya meminta Ana mendekati Akbar.
"Harusnya gua gak seegois itu, Na. Harusnya gua ada disamping lo waktu itu." Katanya.

Rayana masih menangis pilu dalam dekapan Ibra, tangan Ibra mengusap pelan surai sahabatnya hingga Ana cukup merasa tenang.
"Husttt... Jangan ngomong kaya gitu, ada gua. Lo ga sendirian Na." Ucap Ibra.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang