Jiwa yang Rapuh

12 0 0
                                    

Tok tok tok

Ketukan pintu terdengar. Ana melihat jam dinding sekilas, sudah pukul 21.30 siapa kiranya yang kerumah malam malam.

"Sebentar!!" teriak Ana saat ketukan itu kembali terdengar. Ana yang sedang duduk santai didepan TV dengan malas berjalan keluar memmbukakan pintu.

"Ibra." gumamnya lirih saat melihat sahabatnya tepat didepan pintu.

"Ngapain?" tanya Ana tanpa mempersilahkan Ibra masuk.

"Mamah nyuruh gua nginep, dia khawatir sama lo." ucapnya lalu melangkah masuk begitu saja.

"Oh..." jawab Ana singkat lalu berjalan kekamar membiarkan Ibra mematung di ruang tamu sendirian.

Ibra melempar ranselnya begitu saja, "Lo nggak ada sopan santunnya ya ke tamu. Nggak diajarin apa?!" tanya Ibra sambil berteriak.

Ana melihat Ibra dengan wajah datarnya, "Iya. Emang gak diajarin apa apa." jawab Ana pelan yang entah didengar Ibra atau tidak.

Ana memasuki kamarnya sementara Ibra dengan berat hati tidur di sofa depan TV. Kalau bukan disuruh mamanya, Ratna, Ibra benar benar enggan menghadapi Ana seperti ini.

Di kamar, Ana hanya duduk bersandar disamping tempat tidurnya sambil memainkan ponsel, menggulir isi galeri miliknya. Dan terlihat disana fotonya dengan almarhum sang kakak  dengan motor kesayangan kakaknya.

Dan lagi, otaknya kembali memutar kejadian tepat saat sang kakak meninggal. Ana menggelengkan kepalanya beberapa kali agar ingatan itu tidak terus bersarang disana.

"Gak, gak boleh Na. Lo harus lupain itu." katanya bermonolog sembari memukul kepalanya.

Tapi tidak bisa, bayangan itu terus saja berputar diotaknya. Akhirnya air mata pun tak bisa ditahan. Ana menangis, dia merindukam sosok kakanya.

"Bang Ana kangen. Ana capek hidup sendiri...." gumamnya.

Ana kembali menangisi kepergian Jio, lalu otaknya seakan kembali menyakiti dirinya dengan memutar kenangan sang Bunda didalam kepalanya, kemudian Ana teringat akan pahitnya kehidupan yang selama ini dia rasakan. Sudah, lengkap sudah luka miliknya. Dia merasa bahwa dunia tidak pernah adil padanya.

Ana menangis lirih, merintih perih merasakan lara didalam hatinya.

Ana tersadar,

Plak!!

Ana menampar pipinya sendiri berusaha menyadarkan dirinya dari bayang bayang masalalu itu.

"Gak! Stop Na, Bunda gak suka lo kaya gini, Bang Jio juga pasti sedih kalo lo jadi cewek lemah kaya gini!" ucapnya menguatkan dirinya.

Ana mengambil Obat penenang miliknya, mengambil 2 butir untuk dia minum sekaligus, lalu bersiap untuk tidur.

Lelah, Ana merasa lelah dengan kehidupannya, dengan pikirannya, dan dengan dirinya sendiri. Kalau boleh, Ana inggin pergi sejauh mungkin dari dunia memulai awal yang baru dengan orang-orang baru ditempat yang lebih baik. Tapi luka itu selalu mengikuti kemanapun dia pergi, hingga dia merasa frustasi dengan semuanya.

***

Di bukit yang luas, dipenuhi dengan hamparan rumput hijau dengan bunga bunga yang indah. Ana kecil berlari menuju pohon rindang didepan sana, gaun putih dan rambut panjangnya terombang ambing terbawa angin mengikuti langkah kakinya.

Sangat damai, Ana duduk bersandar pada batang pohon itu sambil menatap hamparan bunga warna warni di hadapannya.

Usapan lembut dikepalanya membuat dia mendongakkan kepalanya pelan. Senyum yang sudah lama menghilang itu kembali ia lihat, senyum hangat yang melengkapi kerapuhannya.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang