Lagi dan lagi tempat ini memberi luka terburuk untuk Ana, seolah seperti mendapat kutukan bahwa tempat ini sudah ditakdirkan memberi kesakitan untuk Ana.
Ditengah acara Ana pamit kepada kedua temannya untuk pulang lebih dulu, seperti yang dikatakan Ibra tadi pagi dia segera menghubungi Ibra untuk menjemputnya. Tapi sepertinya semesta tidak memihak pada Ana, Ibra sama sekali tidak bisa dihubungi. Ana berjalan keluar gedung, saat sampai disekitar parkiran dia melihar Ayahnya, Reina, dan Akbar yang tengahh berbincang akrab. Tawa dan raut wajah bahagia sudah menjelaskan betapa bahagianya kehidupan ayahnya saat ini. Tapi Dia? Apa tak sedikitpun dirinya terlintas dibenak sang ayah?
Ana berjalan lurus berusaha tidak menghiraukan orang irang disana, menunduk lesu dengan mata yang berkaca. Ana memantapkan langkahnya untuk tidak menoleh sedikitpun.
Karena Ibra tak bisa dihubungi dengan sangat terpaksa dia berjalan ke halte bus yang jaraknya tidak jauh dari sekolah, selama perjalanan itu pula Ana terus memikirkan Ayahnya dan keluarga barunya. Ada banyak pertanyaan di kepalanya, salah satunya adalah Apa hubungan itu terjalin semenjak ibunya masih ada?
Jika memikirkannya Ana krmbali merasa sesak, tangis lirih itu krmbalu terdengar. Ana mengusap air matanya pelan dan kembali melanjutkan langkahnya.
Tinnn tinnnn
Suara klakson mobil menghentikan langkahnya, Ana menoleh sebentar disana ada Akbar yang sedang menatapnya juga.
"Kak Akbar?" gumamnya lirih.
"Masuk, gua anter pulang." ucap Akbar dari dalam mobilnya. Untuk sekejap Ana mematung, tak merespon apapun sampai suara klakson itu menyadarkan Ana dan dia bergegas masuk mobil.
Mobil hitam itupun melaju membawa Ana pada harapan yang mungkin akan kembali melukainya.
"gimana keadaan lo?" tanya Akbar setelah sekian lama keduanya saling terdiam.
Ana mengangguk, "Iya, baik baik aja." jawab Ana tanpa menoleh pada Akbar.
"Kak Reina?" ucap Ana yang dipahami oleh Akbar.
"Oh, dia balik sama bokapnya" jawab Akbar, Ana mengangguk dengan sakit yang ia terima.
Mobil akbar berhenti didepan sebuah rumah yang lama yang Ana tinggalkan semenjak kkepergian ibunya.
"Gua turun, makasih tumpangannya." ucap Ana.
"oh iya, kak Akbar langsung balik aja. Makasih" sambungnya lalu bergegas keluar dari mobil.
Selepas kepergian Akbar, Ana menatap bangunan sederhana dihadapannya. Rumah kecil yang dulu terasa sangat nyaman kini terasa sepi dan hampa.
Ana memasuki rumahnya, baru saja membuka pintu sudah disambut senyum hangat ibunya yang terpampang nyata difigura lama. Usang, berdebu tebal tapi foto itu nampak membahagiakan.
"Ibu... Ana kangen." ucapnya lirih. Kakinya kembali melangkah lebih dalam, kini ia melihat ke dapur. Bayangan ibunya yang tengah asik memasak, gurauan, dan tawa itu kian berputar dikepalanya. Kenangan yang sangat memilukan.
Tak mau berlama lama, ia langsung pergi ke kamar. Merebahkan diri dan menatap langit langit kamar yang sudah lama tak ia pandangi, kepalanya menghadap kesamping, ia menatap foto keluarga dab kenangan bersama teman temannya yang sempat menjadi rumah sebelum semua hancur berantakan.
Tessss
"Sakit... Tuhan..." lirihnya, air mata itu mengalir begitu saja. Lama lama isakan pilupun terdengar. Dibalik dinding yang dingin dan sunyi dia menangisi takdirnya yang begitu pahit.
***
Ditengah padatnya jalan, kini Ibra tengah mengendarai sepeda motornya kekota sebrang setelah mendapat kabar buruk mengenai ayahnya.
Beberapa jam yang lalu dia diberi kabar oleh staf ayahnya, bahwa sang ayah pingsan saat menghadiri sebuah rapat, dan saat ini sudah dilarikan kerumah sakit terdekat. Tanpa pikir panjang Ibraun langsung pergi menemui Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rayana
Teen FictionRayana, Kisah cinta dalam diam seorang gadis yang penuh luka. Tentang Rayana dan Takdirnya. Jika mereka mengatakan cara mencintai paling indah adalah dengan mencintai dalam diam, rasanya Ana sudah khatam dengan rasa sakitnya mencinta. Akankah kisah...