Lebur

1 0 0
                                    

Sudah dua minggu sejak kejadian malam itu Ana menjelma menjadi wanita pendiam seperti sebelumnya yang bertingkah seolah tak ada apa apa. Bahkan Ana tak pernah mengungkit sedikitpun tentang apa yang ia rasakan pada malam itu.

Ana menjalani aktivitas seperti biasa. Bangun pagi, membantu Ratna menyiapkan sarapan, lalu sarapan bersama Ibra, dan pergi bekerja di kafe seperti menjalani kehidupan normal pada sebelumnya.  Pukul 09.00 Ana sudah berangkat ke kafe dengan memesan ojek online melalui hp nya. Sebenarnya Ibra sudah menawarkan tumpangan, tapi Ana menolak dengan berbagai macam alasan.

Sesampainya di Kafe Ana langsung menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Pukul 10.00 kafe sudah mulai ramai, tam ada sedetikpun kesempatan Ana untuk mendudukkan diri. Keluar masuk pantry untuk mengantarkan makanan.

"Meja nomer 5 ya, Na." Kata Wendi memberikan satu nampan berisi satu porsi kentang goreng dengan dua ice americano.

"Oke." Ucap Ana lalu bergegas memberikan pesanan pelanggan.

Langkah Ana perlahan melambat, "kak Akbar? Ibra? " Ucap Ana setelah menyadari siapa yang duduk di meja nomer 5. Dia sedikit mengenali potongan rambut dan bentuk punggung sahabatnya.

"Silahkan pesanannya." Ucap Ana sembari meletakkan makanan di atas meja.

"Thanks, Na." Ucap Ibra. Ana mengangguk lalu hendak pergi dari sana.

"Eh, Na kalo udah ga sibuk gabung ke sini ya. Ada yang mau gua omongin sama lo." Sambung Ibra membuat Ana menghentikan langkahnya, lalu menatap Akbar sebentar dan beralih menatap Ibra dengan penuh tanya.

"Gak ngomong aneh aneh kok, udah sana lo kerja lagi." Ibra mendorong pelan tubuh Ana untuk pergi dari sana membuat Ana berdecak kesal.

Pukul 14.00 setelah mendapat ijin dari rekannya, Ana menemui Ibra di meja depan. Seperti yang dikatakan sebelumnya. Kini ana tengah duduk disamping Ibra tepat berhadapan dengan Akbar. Ana berkali kali menegur dirinya agar fokus pada apa yang dijelaskan Akbar nyatanya wajah rupawan Akbar lebih menarik dari apapun.

"Nah jadi Na, gua kan pernah bilang ke lo kalau gua sama bang Akbar lagi bikin proyek kecil gitu lah. Nah... Coba jelasin bang, " Kata Ibra membuka obrolan diantara mereka bertiga.

Akbar pun dengan telaten menjelaskan maksud dan tujuannya, tentang dekorasi dan furnitur kafe yang akan digunakan. Namun sayangnya Ana tak fokus pada apa yang dikatakan Akbar, dia lebih tertarik pada pahatan wajah Akbar yang nyaris sempurna dengan mati matian menahan degup jantungnya agar masih dalam batas normal.

"Paham kan, Na?"

"Eh- ha? Gimana? " Kesadaran Ana baru muncul setelah Akbar melontatkan pertanyaan tersebut.

"Tenang Bang, dia paham kok cuma loadingnya agak lama aja." Ibra menatap Ana dengan mengusap kasar kepala sahabatnya itu.

"Intinya soal desain interior kafe gua percayain ke elo deh, lo kan kerja di kafe pasti lebih paham selera anak muda kalau bisa si juga mencakup semua kalangan ya Na. "

***

Aku tidak tau idelanya sebuah cerita romansa itu seperti apa. Apakah yang bisa hidup bersama? Apa yang saling menggenggam? Apa yang saling jatuh cinta? Apa yang cukup dengan mencintai dalam diam?

Aku menyadari seberapa jauh aku bila dibandingkan dengan dia, seberapa sempurnanya pilihannya. Aku menyadari itu. Tapi aku pun ingin mendekap nya ingin ku tunjukkan pada dunia bahwa aku mampu memilikinya. Tapi mulai dari mana? Aku tak secantik itu, aku tak sepintar pilihannya, aku tak semandiri itu, keluargaku bahkan hancur, aku bahkan tidak tau akan kemana jalan hidupku.

RayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang