BAB 1 WARUNG MAK ETI

302 7 0
                                    


Sudah sembilan tahun aku merantau jauh ke Jakarta, meninggalkan kampung dengan segala keindahannya. Saat aku teringat apa yang menjadi alasanku untuk merantau jauh ke ibukota. Apakah untuk mimpi? Untuk cita-cita? Atau untuk mendapatkan banyak harta dan materi? Mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar? Atau hidup mewah di tengah kota? jauh dari kampung ini yang masih belum maju, hampir semua penduduknya masih bergantung pada sawah dan ladang. Jawabannya bukan itu semua, tapi hanya satu alasan, tentang rasa yang kian lama terpendam.

Semua cerita bermula di sebuah warung di persimpangan jalan, 100 meter dari rumahku. Simpang yang menjadi tempat dimana anak-anak kampungku sering duduk menghabiskan waktu setiap sore. Di dekat rumahku ada sungai tempat anak-anak biasa memancing. Berjalan ke persimpangan, berbelok ke kiri ada lapangan bola yang terlihat jelas dari simpang. Berbelok ke kanan, sekitar 200 meter, ada sekolah, masjid dan Balai kampung.

Hari ini, sore terlihat jelas di langit yang menguning. Aku melangkah turun dari rumahku, sebuah rumah panggung yang telah diwariskan hampir tiga generasi hingga Ayah dan Ibuku yang sekarang menghuninya. Saat aku menuruni tangga, terdengar denyitan kayu dari anak tangga yang kuinjak, khas rumah tua kebanyakan. Sejenak aku berhenti melihat pintu pagar yang tertutup. Lihatlah jalanan di depan rumahku, dulu hanya jalanan tanah bercampur kerikil, sekarang beton tebal melapisinya, tak perlu takut becek dan berlumpur lagi saat hujan seperti dulu.

Langkah kakiku pelan menyusuri jalan beton menuju persimpangan jalan, menikmati udara segar khas perkampungan. Udara yang sangat jarang kurasakan setelah hampir sembilan tahun ini aku menghabiskan waktu di Kota Jakarta. Merantau dari kampungku yang terletak di Pulau Sumatera. Aku menghirup dalam udara yang terasa segar, mengisi paru-paruku hingga lega itu terasa. Kapan udara Jakarta bisa sesegar ini lagi? Ah, entahlah, sepertinya itu hanya mimpi.

Aku mengusap lenganku yang terbuka karena memakai kaos lengan pendek, udara disini terasa dingin, mungkin efek karena terbiasa setiap hari berpanas-panasan dengan udara ibukota. Sesekali aku menoleh kepada orang-orang yang aku kenal melewati jalan itu. Tersenyum dan menyapa mereka, itu sudah menjadi kebiasaanku sejak kecil.

Beberapa orang menyahut sapaanku dengan ramah, sama seperti dulu. Aku adalah gadis cantik di kampung yang disayangi banyak orang. Senyum mereka lebar, menatapku dengan lembut. Jika aku tidak merantau, mungkin aku sudah menjadi kembang desa yang diperebutkan pemuda kampung. Bukan karena aku sok cantik dan manis, atau rambutku panjang dan kulitku putih. Tapi lihatlah, pemuda yang tengah bermain gitar di simpang jalan tengah bernyanyi seraya memandangku yang berjalan ke arah mereka.

Siul khas laki-laki penggoda terdengar saling menyahut, aku tahu siulan itu tertuju untukku. Tapi aku tak peduli, lekas aku berbelok menuju warung di sebelah kanan dekat simpang. Menghindari gerombolan pemuda yang memang suka duduk di simpang jalan. Sudah sejak dulu memang seperti itu, simpang jalan adalah tempat paling disukai laki-laki di kampungku untuk menghabiskan waktu sore hingga malam.

Aku masuk ke warung Mak Eti, mengambil sebotol air dari lemari pendingin dan duduk di bangku kayu. Meminum sedikit air rasa jeruk yang kubeli, seraya memandang beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berbelanja kebutuhan dapur mereka. Sayuran, cabe, bawang, dan Tomat tersusun di sebuah meja besar. Beberapa kebutuhan masak lain seperti ikan asin, teri, hingga bumbu pemasak tersangkut di paku-paku warung. Kebutuhan lain tersusun rapi di rak-rak dalam warung. Sisi tempatku duduk ada makanan ringan yang biasa dimakan oleh anak-anak.

Warung ini juga tempat para laki-laki menghabiskan waktu malam. Bermain kartu dan menonton bola dari televisi  21 inch yang terpasang di dalam warung. Warung Mak Eti tak jauh berubah dari dulu. Hanya tiga buah lemari pendingin yang baru kulihat. Dua untuk minuman dingin, satu lagi untuk menaruh ikan, daging ayam dan daging sapi, khusus untuk kebutuhan dapur. Hanya satu yang kurang, belum ada freezer ice cream disana. Mungkin nanti bisa aku sarankan agar Mak Eti menjual ice cream juga di warungnya ini.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang