Rasa Semakin Tumbuh

33 4 0
                                    

Hari kedua di sekolah, terasa menyebalkan, aku tidak fokus belajar setelah kejadian dengan Kak Sela di perpustakaan. Eva menyikutku, menyuruh fokus dengan pelajaran. Tapi pikiranku sudah terlanjur kosong, tak bisa lagi menyerap apa yang disampaikan guru di depan kelas. Sesekali aku melihat jam kelas, berhitung jam istirahat kedua. Hingga lima menit sebelum istirahat, aku meminta izin kepada guru yang siang itu mengajarkan pelajaran kimia.

"Sebentar lagi istirahat, tunggu saja sampai bel berbunyi, sekarang kamu duduk." Guru itu menolak untuk memberiku izin.

"Aku udah nggak tahan, Buk." Aku memohon, berharap diizinkan untuk keluar.

"Tahan sebentar, ini nggak sampai lima menit lagi." Tegas guruku itu.

"Tapi, Buk. Ini udah kebelet." Desakku.

Guru itu mengembuskan nafas singkat, melihatku bergantian dengan siswa lain. Kemudian mengizinkanku keluar dari pada kami berdebat, karena ia masih harus menerangkan sedikit lagi tentang pelajarannya.

"Ya udah, keluar sana," perintahnya seraya menggerak-gerak spidol yang ia pegang.

Aku tersenyum, berterima kasih dengan hormat sekalipun dia tampak marah, lekas aku keluar berjalan cepat menuju ke perpustakaan. Berdiri seraya bersandar di dekat tiang pintu masuk. Menunggu Bang Arsyad disana, aku tahu dia sangat cepat sekali ke perpustakaan setiap jam istirahat. Itu kebiasaannya sejak dulu. Benar saja dugaanku, tidak sampai tiga menit setelah bel istirahat kedua berbunyi, dia sudah muncul di ujung lorong perpustakaan. Berjalan cepat mendekat ke arahku.

Bang Arsyad mendekat dengan tersenyum hangat seperti biasa kepadaku. Dia menyapaku saat hendak melepaskan sepatunya di depan pintu pustaka. Aku tak menjawab sapaannya, melainkan menahan tangannya dengan cepat. Membuatnya urung melepaskan sepatu, dan menoleh dengan wajah kebingungan, menuntut penjelasan atas peganganku.

"Ada apa, Hes?" tanya Bang Arsyad.

"Aku mau bicara, Bang."

"Ya, udah, di dalam saja." Bang Arsyad bersikap seperti biasa, seolah tadi tidak terjadi apa-apa.

Suasana hening sesaat, hanya hiruk pikuk anak-anak lain yang terdengar dari kejauhan. Aku menjawab ucapan Bang Arsyad dengan gelengan. Dia mengembuskan nafas berat dan balik memegang tanganku. Menarikku ke samping ke perpustakaan dan kemudian berjalan menuju kebelakangnya.

Belakang perpustakaan SMA-ku itu ditumbuhi rumput liar yang tingginya setengah betis. Ada beberapa bangku patah yang berserakan, seng dan beberapa bahan bangunan yang bertebaran. Bang Arsyad duduk di terasnya yang hanya dilapisi semen. Aku ikut duduk di sampingnya, memangku lututku.

"Abang berubah." Aku bergumam lebih dulu.

"Kita yang berubah, Hes."

"Aku masih sama seperti dulu, Bang. Abang yang berubah tidak seperti dulu lagi."

"Ini normal, Hes. Memang ini yang harus kulakukan, karena kita bukan anak-anak seperti dulu lagi. Kamu sudah tumbuh menjadi seorang gadis."

Aku diam sesaat, apa yang dikatakan Bang Arsyad benar. Aku sudah tumbuh menjadi gadis remaja. Harus bisa menjaga diri dan kehormatanku sebagai seorang perempuan.

"Kak Sela, di-dia." Aku terdiam sesaat, mengatur nafasku yang terasa sesak ntuk menanyakan itu, takut jawabannya adalah iya, "apa Kak Sela pacar Abang?"

Bang Arsyad tertawa tipis, mengejek ucapanku. "Mana ada perempuan yang mau denganku, Hes. Kamu lihat kulitku, gelap, tubuhku kurus. Anak miskin tak punya apa-apa lagi. HP saja aku tidak punya"

Aku menggeleng, memegang tangannya dengan refleks, membuatnya menoleh kepadaku. Seketika kami saling pandang, kemudian merasa sama-sama canggung dengan keadaan. Aku melepaskan peganganku, lalu membuang muka dari Bang Arsyad.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang