Semuanya Berubah

35 4 0
                                    

Aku berjalan menuju rumah mertua Eva, tidak jauh dari lapangan tempat aku dan Nita duduk tadi. Berjalan ke arah rumah Bang Arsyad, beda rumah mertua Eva dan Bang Arsyad mungkin sekitar lima sampai enam rumah saja. Sebuah rumah bercat putih, model rumah tahun 2000-an kental sekali di rumah itu. Rumput paku di halamannya dengan bunga-bunga bugenvil berwarna-warni menghiasi. Ada jalan menuju teras rumahnya yang di cor semen untuk jalur motor.

Langkahku gontai menuju teras rumah mertua Eva yang berkeramik kuning muda kemerahan. Aku naik ke terasnya, mengetuk pintunya tiga kali, mengucapkan salam dengan lantang. Hingga terdengar suara sahutan dari dalam. Pintu rumah itu terbuka, seorang perempuan paruh baya keluar, lengang sejenak, ia menatapku keheranan.

Aku mencoba tersenyum, "Sore, Buk."

"Sore, kamu ...." Dia pasti mengenali wajahku.

"Hesty, Bu. Anaknya Bu Ratna."

"Ya, Tuhan Hesty, aku hampir saja tidak mengenalimu, kapan kamu pulang?"

Aku mencium tangannya sebentar, suami Eva adalah temanku bermain dulu, temannya Bang Arsyad juga.

"Baru sampai, Bu. Ini mau cari Eva ke sini."

Dia mengusap bahuku, aku kemudian mengangkat kepala setelah mencium tangannya, menatapnya dengan ramah. Ia manggut-manggut, paham dengan maksud kedatanganku. Tak perlu dipanggil, sosok yang kucari sudah berseru dari dalam rumah.

"Siapa, Bu?" Itu suara Eva, karena tidak ada anak perempuan di rumah itu, seluruh saudara suami Eva adalah laki-laki yang sekarang merantau ke berbagai kota di Sumatera.

"Ini temanmu, Va. Dia mencarimu," jawab mertua Eva. Ia kemudian menoleh lagi kepadaku "Ibumu bilang, kamu akan segera menikah, udah ada pinangan dari orang Jakarta. Kapan rencana pernikahanmu itu, Hes?"

Aku menelan ludah, berita pinangan itu sudah menyebar dengan cepat, ibu terlalu bersemangat saat aku menerima pinangan atasanku itu. Hingga semua warga kampung yang aku temui tahu akan kabar itu. Dan yang aku takutkan adalah Bang Arsyad juga tahu, dan dia kembali kecewa, sama kecewanya seperti saat aku menerima Yoga dulu.

"Ba-baru sebatas pinangan, Bu. Aku belum berpikir untuk menikah." Aku mengelak, berharap ada setitik keajaiban untuk bersama dengan Bang Arsyad lagi.

Mertua Eva manggut-manggut lagi seraya mengusap bahuku, Eva sudah berdiri di sampingnya, menatapku lamat-lamat, meneliti wajahku dengan serius. Sudah dua tahun kami tidak bertemu, mungkin ia lupa dengan rupa wajahku. Sesaat kemudian Eva memelukku tanpa bersuara sedikitpun, melepaskan rasa rindu kami yang terasa menggunung. Mertua Eva yang paham dengan kami yang melepas rindu, pamit masuk ke dalam. Membiarkan kami berdua di teras rumahnya.

"Kamu lama sekali tidak pulang, Hes." Eva mengusap bahuku dengan lembut, "lebaran tahun kemarin kita juga nggak ketemu, karena aku lebaran di rumah iparku di Jambi."

Aku tertawa tipis dalam pelukan Eva. "Aku sibuk banget di Jakarta, Va. Kamu kan tahu aku selalu pulang saat lebaran, malah pergi lebaran ke Jambi."

Eva tak menanggapi gurauanku untuknya. Dia malah berbicara dengan serius, sepertinya Eva menyimpan sesuatu yang besar di hatinya. Sesuatu yang aku tidak mengerti itu apa.

"Sesibuk apapun pekerjaanmu, sempatkan juga ke sini, Hes. kunjungi aku sama Nita, juga orang tuamu."

Aku menggaruk-garuk kepala, seolah tidak bersalah dengan penuturan Eva barusan. Setelah saling berpelukan dan bertanya kabar, kami duduk di teras rumah. Mulai bercerita tentang sekolah kami yang sekarang sudah jauh berubah, tentang kejadian lucu selama di sekolah serta banyak hal tentang masa putih abu-abu kami yang masih lekat dalam ingatan. Hingga pembahasan itu tidak sengaja dimulai oleh Eva. Pembahasan yang akan membuatku masuk ke dalam penyesalan berikutnya.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang