Sekretaris Osis

24 5 0
                                    

"Nanti saat aku lahiran, kau datang ya, Hes." Nita berseru pelan, mengusap perutnya yang membesar.

"Kamu kabari aja saat lahiran nanti, Ta. Aku akan usahakan untuk datang." Aku ikut mengelus perutnya.

"Kalau kau disini saja sampai aku lahiran gimana, Hes?" Nita mencoba memberi usul.

Aku terhenyak melihat Nita yang tersenyum, menunduk masih mengusap perutnya.

"Kalau kau disini, akan asyik, Hes. Ada kau dan Eva, akan jauh lebih menyenangkan." Nita kemudian menoleh kepadaku, dia seperti mengerti dengan maksud wajahku yang mungkin tak berekspresi sama sekali "jangan dibawa serius, Hes. Ini hanya curhatan orang kampung yang ditinggal semua teman-temannya yang memilih merantau."

Hening sebentar diantara kami, aku tidak menjawab. Nita juga tidak bersuara lagi, Ia kembali melihat rona kuning yang mulai memerah di langit. Sementara anak-anak di lapangan sesekali berteriak, meminta teman mereka mengoper bola. Benar kata Nita, banyak teman-teman kami meninggalkan kampung, berpikir kota menjanjikan penghasilan lebih. Hanya orang tua-tua yang masih meramaikan kampung, yang muda-muda bisa dihitung dengan jari. Bahkan warung Mak Eti dan Pak Andi masih mereka yang mengurusnya, sementara anak-anak mereka bekerja di kota.

"Kamu sebaiknya pulang, Ta. Nggak baik lama-lama di luar rumah. Nanti kamu bisa keletihan dan kekurangan tenaga." Aku mengusap wajahku, kemudian mengusap bahu Nita. Aku khawatir bisa terjadi yang tidak-tidak jika Nita terlalu lama di luar rumah.

Nita menoleh kepadaku dan tersenyum, Ia mengangguk dan kemudian berdiri. Aku membalas senyumannya, membantu Nita berdiri. Jika Tuhan berkehendak, aku ingin menetap di kampung ini lagi. Tapi aku sudah menerima pinangan laki-laki dari Jakarta, dia tak lain adalah atasanku di kantor. Seandainya saja kesalahan itu tidak aku lakukan dulu, mungkin sekarang aku akan bersama Bang Arsyad. Tuhan, aku masih mencintainya. Sungguh masih mencintai Bang Arsyad.

***

Siang itu setelah kembali dari perpustakaan, aku berjalan melewati kelas XI menuju ke kelas. Ada satu hal yang membuatku merasa tak nyaman beberapa waktu belakangan ini. Setiap aku lewat kelas XI, ada Yoga yang selalu melirikku, sesekali menyapaku dengan ramah. Sungguh aku tidak nyaman dengan dia. Apalagi saat mata kami bertemu dia selalu tersenyum, membuaku terpaksa untuk membalas senyumannya.

Jika ada jalan lain yang bisa kulewati ke kelas selain lorong kelas XI, pasti akan aku lewati, sekalipun harus memutari sekolah, tapi kenyataannya tidak ada. Siang itu aku kembali melihatnya, dia memasang wajah hangat, tersenyum kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman tipis. Ingin aku mengabaikannya, tapi itu tidak sopan. Apalagi dia digadang-gadang akan menjadi ketua OSIS selanjutnya. Membuat kami siswa kelas X sangat menghormatinya.

Setelah melewati Yoga dan teman-temannya yang sedang bersenda gurau di depan kelas, aku melangkah cepat untuk menuju lorong kelas X.

"Hesty!" Suara seorang perempuan mengagetkanku. Langkahku terhenti, berbalik badan dan melihat siapa yang memanggilku.

"Kak Intan?" Aku bergumam kaget, bagaimana mungkin sekretaris OSIS yang jadi idola sekolah kami ini tahu namaku?

Kak Intan mendekat, "Kamu Hesty, kan?" tanyanya.

"I-iya, Kak. Ada apa ya?" tanyaku.

Kak Intan mengeluarkan ponselnya dan memberikannya kepadaku. "Simpan nomormu di HP-ku."

Dahiku berkerut bingung, mau apa Kak Intan dengan nomor ponselku? "Buat apa, Kak?" tanyaku sedikit ragu-ragu.

"OSIS bakalan ngadain open recruitment dalam waktu dekat. Aku mau nawarin kamu posisi sekretaris OSIS untuk tahun depan," tukas Kak Intan.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang