BAB 6 ZIARAH SAAT LEBARAN

39 5 0
                                    

Langit semakin menguning, Aku dan Nita masih duduk di warung Pak Andi. Seandainya saja warung tempat anak-anak duduk setiap pulang sekolah ini adalah perpustakaan, mungkin ceritaku dan Bang Arsyad akan banyak terkenang di warung ini. Tapi kenyataannya tidak, Bang Arsyad tidak terlalu suka dengan warung Pak Andi, ia lebih suka jajan di warung Mak Eti di simpang jalan.

Kami dulu sering bertemu di warung Mak Eti, aku suka jajan disana, sementara Bang Arsyad sering membeli kebutuhan dapur di sana karena di suruh Mak Zati. Kami sering bertegur sapa di warung Mak Eti saat bertemu, bergurau sebentar sebelum pulang ke rumah kami masing-masing.

"Kau masih seperti dulu, Hes? Suka baca buku?" Nita bersuara, mencari topik lain, dia sepertinya tidak suka mencampuri masalah pribadiku. Membuatku senang, karena aku bingung mau bicara apa untuk mengalihkan pembahasan tentang pinangan itu.

"Aku selalu menyisihkan gajiku untuk beli buku dan novel, Ta." Aku menoleh kepadanya, "kamarku di rumah Bibi penuh dengan buku. Jika kamu mau, nanti bisa kukirimkan untukmua."

Nita tertekeh mendengarnya, ia memukul bahuku dengan pelan. "Kau tahu sendiri aku tidak suka baca buku. tapi kau malah ingin mengirimkan buku-buku kau untukku, bisa berakhir di unggun sampah nanti buku-buku kau itu."

Dahiku berkerut mendengarnya, "Lalu kenapa kamu menanyakan soal aku masih suka baca buku atau tidak?"

Nita mengusap perutnya yang membuncit seraya tersenyum sengir, "Bisa kau kasih tips agar anakku nanti rajin baca buku seperti kau, biar bisa kuliah di Jakarta dan jadi orang kantoran."

Aku memukul pelan bahunya seraya tertawa mendengar gurauan Nita, "Kamu ini ada-ada saja, membaca itu hobiku, Ta. Kalau anakmu tidak suka, jangan dipaksa." Aku ikut mengusap perutnya dengan lembut, "berapa bulan lagi lahirannya, Ta?"

"Kata bidan di kampung sebelah 2 bulan lagi," jawab Nita. Di kampung kami belum ada bidan, fasilitas kesehatan banyak di kampung sebelah, karena aksesnya jauh lebih cepat ke kota kecamatan.

"Hmm ... Sebentar lagi itu, Ta. Nggak nyangka aku kalau kamu akan menjadi ibu aja sekarang." Aku menyahutnya, "Nanti kalau dia perempuan, kasih namanya sama denganku, biar bisa mengikuti jejakku sampai ke perguruan tinggi, bukan ibunya yang sudah puas tamat SMA." Aku berseloroh ringan, tapi cukup membuat Nita menatapku dengan kesal. Dia mencubit perutku dengan ringan. Aku mengaduh keras, seolah-olah menjadi orang paling tersakiti di warung Pak Andi saat itu.

"Apaan sih?" Nita menggerutu dengan sikapku.

Aku hanya membalasnya dengan tawaan lagi. Senang dapat mengusili Nita seperti ini, dari dulu aku selalu dikerjainya. Polosnya aku dulu, aku tidak pernah berpikir untuk melawan sama sekali. Seperti masalah piket hari itu, aku sama sekali tidak pernah membalasnya.

"Aku kira kau bakalan kembali setiap lebaran saja, Hes. tapi sekarang berbeda, kau pulang di hari biasa. Aku kira ada masalah apa? Eh, rupanya udah ingin kawinan aja, kayak kawianan artis aja sampai jadi bahan gosip Ibu-ibu di warung Mak Eti tadi."

Aku tertegun mendengar ucapan Nita yang bermaksud bergurau denganku. Bukan tentang Ibu-ibu di warung Mak Eti yang bergosip tentangku yang membuatku tertegun, tapi soal lebaran. Membuka kenangan lain tentang Bang Arsyad.

***

Hari itu aku masih ingat, akhir bulan November 2002. Bulan Ramadhan, aku masih belajar untuk puasa seharian penuh. Hari-hariku berpuasa dihabiskan dengan buku-buku bergambar di rumah. Hal yang ringan, namun cukup menguras tenaga, karena otakku bekerja keras mengimajinasikan apa yang kubaca. Setiap sore hari aku memilih duduk di tepi lapangan, sebagian anak masih asyik bermain seperti biasa, entah mereka puasa atau tidak, aku tidak tahu. Tapi mereka berkeringat seperti hari biasanya. Sesekali aku juga ikut bermain jika saat sore masih merasa bertenaga.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang