Kehilangan

44 5 0
                                    

Setelah hari itu, aku selalu duduk di warung Mak Eti, menunggu Bang Arsyad lewat di simpang jalan. Namun tetap saja, nihil. Bang Arsyad tidak terlihat sama sekali. Padahal itu adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kampung kami ke jalan aspal. Hari berlalu, aku tak bersemangat lagi untuk bersekolah. dua hari setelah meninggalnya Mak Zati, Aku dan Yoga putus, dia gerah dengan sikapku yang tak kunjung berubah kepadanya.

Setiap dia mengajakku jalan, aku menolak. Dia mengajakku makan di kantin, tapi aku lebih memilih ke perpustakaan, membaca novel, mencari dunia baru dari apa yang kubaca. Eva juga berusaha menghiburku semampunya. Aku menceritakan semuanya kepada Eva, tapi dia tidak memiliki solusi sama sekali. Apa yang aku alami tampak rumit di matanya.

"Kamu yang kuat, Hes. Semua masalahmu dengan Bang Arsyad pasti akan segera selesai. Jelaskan juga kepadanya jika kamu dan Bang Yoga sudah putus, mungkin nanti dia bisa memaafkanmu dan hubungan kalian bisa kembali membaik seperti semula." Eva mendukungku saat kami menunggu guru masuk ke kelas.

"Terima kasih, Va. Aku nanti akan menjelaskannya kepada Bang Arsyad." Aku mengusap mata, "aku sedih sekali, Va. Tidak bisa menemani Bang Arsyad di saat ia menghadapi masa sulit seperti ini."

"Aku mengerti, Hes. Tapi kamu juga punya kehidupanmu sendiri, kamu juga harus fokus dengan sekolahmu, kita sebentar lagi bakalan ujian semester, Hes."

Aku mengangguk, mengerti dengan maksud Eva.

Empat hari setelah meninggalnya Mak Zati, tepatnya hari Minggu. Kak Hana pulang dari ibukota provinsi tempatnya berkuliah, dijemput Ayah hari Sabtu kemarin. Pagi itu Ibu dan Kak Hana sibuk membicarakan tentang kuliahnya di ruang tengah seraya mengaduk adonan kue. Setiap Kak Hana pulang, Ibu selalu membuat kue untuknya. Aku merasa bosan untuk bergabung dengan mereka. Pikiranku masih kacau, tak nyaman rasanya jika belum tahu kabar Bang Arsyad.

Aku memilih keluar rumah, menuruni tangga rumah panggungku. Ayah terlihat tengah mencuci mobil minibus kami di halaman.

"Mau kemana, Hes?" tanya Ayah yang melihatku ingin keluar pagar.

"Anu, Yah...." Aku kebingungan mencari alasan, tidak mungkin aku memberi tahu Ayah jika aku ingin ke sungai, menyendiri disana, "A-aku ingin ke rumah Nita, Yah."

Ayah mengangguk, "Jangan lama-lama pulangnya," sahut Ayah.

"Ok, Yah." Aku berusaha tersenyum, mengangkat tangan kananku, menunjukkan simbol ok.

Aku mengembuskan nafas lega, untung rumah Nita ke arah sungai, jadi aku bisa memberi alasan yang bisa meyakinkan Ayah.

Semilir angin lembut menemani langkahku menuju sungai. Hening, hanya derik daun-daun kering yang terdengar karena diterpa angin. Aku berbelok ke arah sungai, tidak sampai sama sekali ke rumah Nita yang terus menyusuri jalan itu hingga ujung jalan yang buntu. Aku berjalan menuju sungai dengan pikiran kusut. Udara segar kampungku tidak bisa sedikitpun membuatku lega dengan keadaan.

Langkahku terhenti saat aku hendak turun ke pelataran sungai tempat aku dan Bang Arsyad memancing dulu. Disana terlihat seorang laki-laki duduk memancing seorang diri. Air mataku menetes begitu saja, rasa di hatiku yang tak kumengerti itu rasa apa, tiba-tiba terasa memuncak. Aku berjalan cepat, tak menyangka akan melihat Bang Arsyad ada disana. Dia terlihat melamun, tidak menyadari pelampung pancingnya yang bergerak-gerak di permukaan sungai karena umpannya sudah dimakan ikan.

Aku menarik menapas panjang mencoba bersikap tenang.

"Kok melamun, Bang? Itu umpannya udah dimakan ikan." Aku duduk di sampingnya bersikap seolah tidak ada masalah diantara kami.

Bang Arsyad seketika mengusap mata dan pipinya, kaget dengan kedatanganku. Sikapnya membuatku menelan ludah seketika.

"Abang menangis?" Aku refleks bertanya.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang