Tentang Ikan

36 6 1
                                    

Salah satu kenangan yang sangat ku ingat tentang Bang Arsyad adalah tentang ikan. Pagi itu, hari Minggu, aku duduk di ruang tengah, menonton film kartun di salah satu siaran televisi. Disana juga ada Kak Hana yang ikut menonton bersamaku. Aku bersandar memeluk boneka beruang berwarna cokelat. Boneka yang dulu ingin kugambar di layangan "AH" kami. Kakiku selonjoran, mataku fokus melihat televisi.

Buku-bukuku yang berantakan di atas tikar ruang tengah kuabaikan. Membuat Kak Hana jengkel melihatnya.

"Kamu rapiin dulu buku itu, jangan nonton aja." Kak Hana ketus kepadaku.

Aku mencibir mengejeknya. Kemudian kembali menonton tanpa peduli dengan ucapannya barusan.

"He, dengar nggak orang ngomong. Pakai etika sama orang yang lebih tua." Kak Hana membentakku, tapi aku tak peduli, dia memang selalu ketus seperti itu kepadaku. Kami sering kali bertengkar di rumah dan membuat Ibu mengomel untuk menasehati kami.

Aku mendengus sebal melihat Kak Hana, "Rapiin aja sendiri," jawabku juga dengan ketus.

"Ih, anak ini, susah sekali dibilangin, melawan terus isi otaknya." Kak Hana menahan kesal atas sikapku. Aku tahu sikapku ini menyebalkan baginya, tapi aku tak peduli. Malah asyik mengupil dengan mata fokus ke layar televisi.

Kesiur angin membuat jendela di belakang televisi bergerak-gerak, kain jendela itu melambai-lambai, mengganggu fokusku pada film kartun yang kutonton.

"Tutup jendelanya, Hes! angin di luar kencang sekali." Kak Hana memerintahku lagi.

Aku melihat Kak Hana sejenak dan mencibirnya lagi, "Tutup saja sendiri."

Kak Hana menggeram kesal, wajahnya merah penuh emosi melihatku. Ia mendekat dan mencubit perutku dengan keras. Aku yang kaget tidak sempat lagi menghindar.

"Aduh, Kak! Sakit." Aku berusaha menepis tangan Kak Hana.

"Biarin, biar kamu nggak melawan lagi sama yang lebih tua." Kak Hana semakin mengeraskan cubitannya. Membuatku semakin merengek menahan sakit.

"Ampun, Kak. Ampun!" Aku meringis, masih berusaha melepaskan cubitannya di perutku. Tapi tenagaku kalah jauh dengannya.

"Tutup nggak jendelanya!" Kak Hana memerintahku lagi, cubitannya semakin keras.

Kesiur angin semakin kencang terdengar. Kain jendela melambai-lambai dan pintu jendelanya berderit keluar masuk.

"I-iya, Kak. Aku tutup." Aku mengalah, dan Kak Hana melepaskan cubitannya. Aku mengangkat baju yang kupakai, perutku terlihat memerah, keras sekali dia mencubitku. Seolah aku bukan adiknya saja.

"Cepat tutup!" Kak Hana setengah berteriak.

"Iya-iya."

Terpaksa aku berdiri, mendekati jendela, merapikan sedikit kainnya. Saat hendak menarik jendela yang terbuka keluar, aku melihat Bang Arsyad berjalan dari sungai membawa ember kecil dan potongan bambu tua yang ukurannya juga kecil. Aku tersenyum senang melihatnya. Bang Arsyad jauh lebih mengasyikkan menjadi saudaraku daripada Kak Hana. Dia tidak pernah mencubitku dengan keras, kecuali mencubit pipiku, itupun karena gemas dengan pipi chubby-ku yang imut.

Aku urung menutup jendela, memutar badan melihat Kak Hana yang melotot tajam kepadaku.

"Kenapa belum kamu tutup?" teriak Kak Hana.

Aku tersenyum tipis mengejek, "Tutup saja sendiri!" Aku mencibirnya kemudian terkekeh berlari ke arah pintu rumah.

"HESTY!" Kak Hana berteriak, aku tidak peduli dan terus berlari, membuka pintu dan menuruni tangga rumah panggungku.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang