Sebuah Kesalahan

34 4 0
                                    


Semester kedua di kelas X, aku mendapatkan jadwal piket yang sama lagi dengan Nita. Untuk ke sekian kalinya aku mendapatkan jadwal piket yang sama dengannya, hal yang kembali terasa menjadi musibah bagiku. Hubunganku dengan Bang Arsyad yang semakin hari terasa semakin dekat hancur begitu saja, membuat kami dalam keadaan yang tidak pernah aku inginkan sama sekali. Apa yang kuperjuangkan selama ini untuk Bang Arsyad hancur oleh diriku sendiri.

Semuanya bermula oleh gosip tentangku dengan Yoga yang semakin terdengar jelas dibicarakan banyak orang. Teman-temanku bahkan tak sungkan bertanya langsung kepadaku, apa aku benar punya hubungan dengan ketua OSIS kami? Aku berkali-kali berkata tidak. Tapi mereka tetap saja bertanya lagi dan lagi. Aku pernah menanyakan hal itu kepada Yoga saat kami berkirim pesan singkat. Tapi dia mengelak, bilang tidak tahu dari mana berita itu berasal. Lalu mengalihkan topik kami ke masalah pelajaranku di sekolah.

Berjalannya waktu, Yoga juga semakin sering mengirimiku pesan singkat, berbasa basi tentang hal yang berlebihan. Apa aku sudah makan? Lagi apa? Sudah tamat baca berapa novel? Hobi masak ya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuatku risih. Aku yang tak mau memikirkan apapun tentang dia, tetap seperti biasa, membalasnya seadanya dan bahkan ketus, namun ia tetap saja seperti itu. Aku hanya menduga dia suka kepadaku, tapi aku tak peduli, mau suka apa tidak, tidak ada untungnya buatku. Satu-satunya laki-laki yang mengisi hati dan pikiranku hanya Bang Arsyad.

Sementara di sekolah, sama seperti biasa, Yoga menyapa dan tersenyum kepadaku saat melewati kelasnya. Hampir setiap hari dia melakukan itu. Aku ingin sekali merubah jalan ke kelas, tapi tidak ada, cuma itu satu-satunya jalan ke kelasku yang ada di sudut gedung kelas X. Melihat Yoga setiap hari dengan segala gosip yang beredar benar-benar membuatku tak nyaman.

Akhir Februari 2009, aku masih ingat betul kejadian itu. Sama seperti saat pertama kali aku mengenal Bang Arsyad. Hari itu jadwal piketku dan Nita. Dia seperti biasa, piket lebih dulu dan kemudian pergi meninggalkanku untuk berkumpul dengan teman-teman di warung depan sekolah. Sementara aku sibuk menyelesaikan tuga piket yang ditinggalkan Nita seenaknya.

Siang itu, aku merapikan rambutku setelah selesai menyapu kelas, mengikatnya kucir seperti ekor kuda. Ikatan ini sudah seperti ciri khasku sejak kecil. Aku mematut diri di kaca jendela yang memperlihatkan bayanganku. Meski tidak terlalu jelas, tapi sudah cukup untuk membantu merapikan lagi penampilanku sebelum pulang. Ayah mungkin sudah menungguku di depan sekolah.

Setelahnya aku keluar dari kelas seorang diri, aku melangkah pelan menyusuri lorong. Sampai di ujung lorong ada gedung kelas XI, aku belok ke kanan, menuju lorong kelas XII. Jalan itu aku pilih untuk menghindari terik matahari yang menyengat jika lewat halaman sekolah. Gerbang sekolah berada dekat dengan ujung lorong kelas XII, tepatnya setelah tempat parkir kendaraan guru.

Baru saja jalan beberapa langkah, aku melihat anak kelas XI yang akan mengikuti pelajaran olah raga sore itu tengah berkumpul di ujung tangga menuju lorong kelas XII. Siswa dan siswi bercampur baur, bernyanyi bersama dengan iringan musik dari seorang laki-laki yang tengah bermain gitar. Aku melirik kepada mereka sebelum melangkah. Laki-laki yang memainkan gitar itu adalah Yoga, ketua OSIS yang digosipkan memiliki hubungan denganku.

Yoga berhenti memetik gitarnya, ia tersenyum kepadaku. Senyuman seperti biasanya saat dia menyapaku setiap hari. Aku menelan ludah, merasa tak nyaman, karena teman-temannya juga melihat kepadaku dan Yoga secara bergantian. Mereka seolah menganggap aku dan Yoga benar-benar punya hubungan seperti gosip yang beredar selama ini.

"Hai, Hesty! Belum pulang?" Yoga berdiri dia berjalan mendekat kepadaku.

Aku senyum terpaksa membalas senyuman Yoga. Aku kikuk, kaku dengan keadaan.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang