Harus Menjauh

33 4 0
                                    

"Kakak kau masih di Surabaya, Hes?" Nita bertanya saat kami baru saja duduk di dekat lapangan.

Kami Melihat anak laki-laki yang tengah bermain bola, jumlah mereka sedikit. Mungkin yang lain asyik bermain gadget di rumah. Game online lebih diminati anak-anak sekarang dari pada permainan bola di lapangan.

"Iya, Ta. Suaminya baru saja dapat promosi beberapa bulan lalu." Aku menjawab tanpa menoleh kepada Nita.

"Hmm ... sudah lama juga ya dia nggak pulang ke sini."

Aku mengangguk, benar kata Nita. Kakak sudah lama di Surabaya, bahkan tiga tahun ini dia tidak pulang sama sekali, sekalipun itu saat lebaran. Sementara Ayah dan Ibu cuma berdua di rumah. Ibu pasti kesepian di rumah panggung, karena Ayah siang sibuk bekerja. Sementara kami anak-anaknya sibuk di rantau.

"Ngomong-ngomong, Kau dan dia tidak suka bertengkar seperti dulu lagi, kan?" Nita bertanya, kakinya selonjoran di atas rumput hijau lapangan yang terasa dingin.

Aku terkekeh mendengarnya, mengingat sikapku yang tak pernah mau mengalah sedikitpun kepadanya dulu,

"Nggak, Ta. Kamu tahu sendiri kami tidak pernah bertengkar lagi, kan? Dulu aku pernah memeluknya waktu pulang sekolah, dia marah dan mendorongku, lalu mengurung diri di kamar. Tapi sorenya dia yang datang ke kamar untuk memelukku. Meminta maaf dan mengatakan kalau dia sebenarnya sangat menyayangiku" Aku menghela nafas panjang, "lucu ya, Ta. Adik Kakak suka bertengkar, namun pada akhirnya saling mengatakan bahwa mereka saling menyayangi."

Nita tersenyum simpul memandangku, dia membelai rambutku yang dikucir seperti ekor kuda. Ikatan rambut yang disukai Ayah, Ibu dan juga Bang Arsyad. Nama terakhir itu membuat dadaku terasa sesak. Kenangan tentangnya terus berputar begitu saja. Nita yang dari tadi menemaniku tidak tahu jika aku tengah memikirkannya sekarang.

"Adik Kakak itu memang harus saling menunjukkan kasih sayang, Hes. Bukan bertengkar, kalian bukan anak kecil lagi. Kan nggak lucu jika kalian bertengkar di usia segini."

Aku tertawa tipis mendengar penuturan Nita.

"Kak Hana selalu menemuiku jika suaminya ada kerjaan ke Jakarta, Ta. Dia sengaja ikut suaminya untuk mengunjungiku, hanya saja dia belum punya waktu untuk ke sini. Anak-anaknya juga harus sekolah," jelasku.

"Jika kau menikah nanti, kau bakalan jarang pulang juga, Hes. Sibuk dengan pekerjaan, suami dan anak-anakmu nanti. Sama seperti kakakmu itu." Suara Nita sendu, ia menatap langit sore dengan tatapan kosong.

Aku menelan ludah mendengarnya, apa aku akan meninggalkan Ayah dan Ibu seperti ini untuk selama-lamanya? Apa aku juga tidak akan pulang bertahun-tahun seperti Kak Hana? Apa itu berarti aku membiarkan Ayah dan Ibu kesepian di masa tua mereka?

***

Untuk kesekian kalinya aku merasa waktu berjalan cepat tak bersahabat. Membuat kebersamaanku di perpustakaan SMP dengan Bang Arsyad harus berakhir. Dia sudah harus mengikuti ujian nasional tingkat SMP. Mengikuti pelajaran tambahan di sekolah dan pulang sore. Di hari-hari terakhir sebelum ujian, aku dan Bang Arsyad menghabiskan waktu bersama, bercanda di perpustakaan seperti biasanya, kami masih sering naik becak motor, pulang bersama dan bercerita tentang banyak hal sepanjang kebun karet. Waktu setahun di perpustakaan SMP terasa begitu singkat, tak cukup mengobati rasa rinduku dengan kebersamaan kami dulu saat di perpustakaan SD.

Bang Arsyad lulus menjadi salah satu siswa terbaik di SMP, Ia berkesempatan untuk masuk ke SMA terbaik di kabupaten. Namun karena jarak yang jauh dari kampung dan biaya yang besar, Bang Arsyad memilih SMA terbaik di kecamatan. Walaupun begitu, tetap saja hal tersebut melecut semangatku untuk belajar lebih giat, agar bisa tembus ke SMA terbaik di kecamatan. Menghabiskan waktu di perpustakaan SMA bersama Bang Arsyad. Mungkin perpustakaan SMA jauh lebih besar daripada perpustakaan SMP, mungkin juga AC-nya dua, tidak satu, dan rak bukunya jauh lebih banyak.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang