Tegar

35 5 0
                                    

Menjelang ujian semester genap, saat aku masih kelas X, aku masih ingat hari itu, Rabu, 13 Mei 2009. Hampir sama dengan hari yang lain, aku ke sekolah seperti biasa. Berusaha untuk tersenyum setiap hari, menghadapi hari-hariku yang berat setelah kehilangan Bang Arsyad.

Siang itu sekolah mengumumkan siswa-siswi kelas XII yang lulus di perguruan tinggi. Sudah kuduga, nama Bang Arsyad ada di urutan paling atas, nomor pertama. Namun ada yang membuatku kaget, dia lulus di kampus ternama Jakarta. Ya Tuhan, apa aku bisa menyamainya lagi nanti? Kampus negeri ternama di Jakarta, bahkan negara ini, almameter kuning, siapa yang tidak tahu dengan kampus itu. Sedangkan siswa-siswi lain hanya mentok di kampus ibukota provinsi.

Aku bangga sekaligus sedih. Bangga dengan prestasi Bang Arsyad yang sangat luar biasa sebagai anak kampung, dan sedih karena dia akan semakin jauh dariku.

"Kenapa, Hes? Ada masalah lagi?" Eva bertanya saat aku masuk ke kelas dengan wajah lesu.

"Kamu udah lihat kelulusan anak kelas XII di perguruan tinggi, Va?" tanyaku.

"Untuk apa? Emang aku anak kelas XII?" Eva bergurau, mengajakku bercanda agar tidak murung.

Aku mengembuskan nafas berat, bicara dengan Eva tak memberikan solusi yang bagus. Sia-sia saja rasanya, tidak bisa memberikan sedikit saja rasa lega di hatiku yang terasa sesak. Tapi setidaknya Eva bisa menjadi tempatkan mencurahkan semua kesedihan ini.

"Bang Arsyad lagi?" Eva menebak, dan aku mengangguk pelan menjawabnya.

"Semangat dong, Hes. Jangan sedih gitu, masih ada cowok lain yang lebih baik dari dia." Eva mencoba menghiburku sebisanya.

"Kamu tahu ceritaku dengan dia, Va." Aku mendengus kesal, Eva malah membuatku semakin nggak mood hari itu, "jadi jangan mengarang akan hal yang tidak mungkin, Yoga saja tidak bisa menggantikan Bang Arsyad di hatiku."

Dia hanya mengangkat bahu, membuka buku untuk pelajaran selanjutnya karena guru kami sudah masuk ke dalam kelas. Aku dengan malas ikut mengeluarkan buku pelajaran. Sampai detik itu, tidak jalan keluar yang kutemukan untuk memperbaiki semuanya dengan Bang Arsyad.

***

Siang itu aku dijemput Ayah seperti biasa, kami bercerita banyak hal sepanjang jalan. Ayah suka sekali bercerita tentang bisnisnya, tentang mobil baru yang hendak kami beli dan juga tentang Ibu yang meminta dibelikan mesin cuci yang baru. Padahal baru bulan lalu kami membeli lemari es dua pintu. Bisnis Ayah memang semakin berkembang, mungkin aku bisa berharap Ayah mampu membiayaiku kuliah di Jakarta, untuk mengejar Bang Arsyad ke sana. Aku akan rajin belajar agar nilaiku bisa membantu untuk kuliah di Jakarta.

Saat melewati ladang jagung tempatku melihat Bang Arsyad, aku selalu melihat ladang tersebut dengan teliti, berharap melihat Bang Arsyad lagi disana, namun nihil. Dia tidak terlihat sama sekali. Setengah jam dari SMA-ku, kami berbelok memasuki jalan kampung yang masih berupa tanah bercampur kerikil. Jalan yang sering becek saat hujan melanda.

Lima menit dari jalan aspal, sudah terlihat gedung SD dan masjid. Mobil Ayah lurus menuju simpang jalan, terlihat beberapa Ibu-ibu mengenakan kerudung tengah berjalan dari arah lapangan menuju warung Mak Eti, mereka membawa kotak anyaman bambu yang biasa digunakan orang untuk membawa beras saat melayat.

"Sepertinya ada yang meninggal, Hes," sahut Ayah saat melihat mereka.

Aku mengangguk paham. "Siapa, Yah?" tanyaku.

Ayah tertawa tipis, "Kita sama-sama baru pulang, Hes. Masa kamu tanya sama Ayah."

Aku ikut tertawa, mengusap tengkukku yang tak gatal. Pertanyaanku barusan terlihat sangat bodoh. Aku menoleh lagi ke arah Ibu-ibu yang baru pulang melayat itu. Siapa yang meninggal?

Ayah berbelok ke kiri, mempercepat laju mobil menuju rumah kami. Saat kami sampai di rumah, terlihat Ibu dan Mak Diah baru pulang melayat dari rumah duka. Aku dan Ayah lekas turun.

"Siapa yang meninggal, Bu?" tanya Ayah yang baru keluar dari mobil. Aku mendengarkan, berjalan cepat ke arah Ibu yang hendak naik tangga rumah panggung kami. Aku mencium tangan Ibu dengan takzim.

"Mak Zati, Yah," jawab Ibu yang membuatku tersentak mendengarnya seketika.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un." Ayah berseru tertahan.

Aku menelan ludah melihat Ayah dan Ibu bergantian. Ya Tuhan! Bang Arsyad.

***

Aku berganti pakaian dan minta izin kepada Ayah dan Ibu untuk keluar rumah sebentar, beralasan mau membeli sesuatu ke warung Mak Zati. Aku menuruni tangga rumah panggung, menggunakan rok hitam panjang dan baju kaos hitam berlengan panjang, serta kerudung berwarna hitam yang aku sembunyikan dari Ayah dan Ibu. Aku setengah berlari menuju simpang jalan, berbelok ke kiri menuju rumah Bang Arsyad.

Saat sampai di rumah itu, terlihat keramaian orang yang melayat. Keranda sudah berada di depan teras rumah. Ustadz kampung tengah berpidato, meminta maaf atas nama keluarga dan mohon doa untuk jenazah Mak Zati. Aku mendekat, menyelinap diantara orang yang berdiri rapat. Di samping Ustadz itu, terlihat Bang Arsyad tertunduk lemah, namun tampak tegar dengan keadaan. Sekalipun dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Aku menangis, menyaksikan dia yang selalu menderita dengan takdir yang digariskan Tuhan.

Masih ingat dalam ingatanku, saat Bang Arsyad mengatakan sedih melihat hujan yang mengingatkannya kepada almarhumah ibunya, lalu saat ia menangis ketika Datuk Mar meninggal, hilang gairah saat tahu ayahnya menikah lagi tanpa berbicara apapun kepadanya, dan hari ini, dia kehilangan Mak Zati.

Aku ingin mendekatinya, berdiri di sampingnya, mengatakan aku akan selalu menemaninya apapun yang terjadi. Namun tidak bisa, di sisi Bang Arsyad hanya ada laki-laki. Sementara Ustadz masih berpidato, yang kemudian ditutup dengan doa bersama. Mak Zati sama dengan Datuk Mar, akan dimakamkan di kampung mereka sore itu juga. Setelah doa bersama selesai, Bang Arsyad mengangkat keranda Mak Zati ke dalam ambulans yang dibantu laki-laki lain.

Bang Arsyad turun lagi dari ambulans sebentar, ia mencium tangan Ustadz dan tetangganya seraya mengucapkan terima kasih sudah menyempurnakan jenazah Mak Zati. Satu persatu orang-orang disana mengusap bahu Bang Arsyad untuk menguatkannya, ada juga dari mereka yang memeluk Bang Arsyad. Namun aku tak punya kesempatan untuk mendekatinya. Padahal aku sangat ingin berbicara dan menemaninya menghadapi kesedihan itu. Menghadapi duka lain dari arti kehidupan sebenarnya, tentang sebuah kehilangan.

"Yang sabar, Nak. Ikhlaskan Mak untuk pergi, biarkan beliau bertemu Datuk disana." ucap seorang perempuan yang terdengar samar olehku.

"Terima kasih, Mak." Suara Bang Arsyad terdengar parau, menahan rasa sedihnya, "doakan yang terbaik untuk Mak dan Datuk, Mak. Aku pamit dulu."

Ibu-ibu yang lain berdesakan ingin mengusap Bang Arsyad, memberinya semangat. Aku berusaha ikut berebut dengan mereka.

"Bang Arsyad!" Suaru terasa tercekat, aku berusaha memanggilnya, namun tidak ada kesempatan untukku mendekat. Aku mencoba memanggilnya berkali-kali, namun tidak terdengar oleh Bang Arsyad, sirine ambulans berbunyi keras, mengalahkan panggilanku.

Bang Arsyad sudah naik ke ambulans dan Ia pergi meninggalkan kampung kami bersama jenazah Mak Zati.

Aku menangis tertahan disana, lagi, aku tidak bisa menemaninya di saat ia berada di titik terendah dalam hidupnya. Teman macam apa aku ini? Aku hanya bisa menyesali diriku sendiri. Akukemudian pergi meninggalkan keramaian, agar orang yang ada disana tidak tahu dengan air mataku.Air mata kesedihan untuk sosok laki-laki yang harus kuakui bahwa dialah yang merajai hatiku.

Sore itu aku hanya bisa melamun di sungai tempat kami sering memancing bersama dulu. Meratapi apa yang terjadi, aku untuk kedua kalinya, tidak bisa memberi kekuatan untuk Bang Arsyad di tengah dukanya. Menemaninya melewati hari tersulit di hidupnya.


Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang