Jangan Ada Penyesalan

59 6 0
                                    


Aku menggigit bibir, tak terima dengan ucapan Bang Arsyad. Mataku terasa perih, tak kuasa menahan air mata yang hendak jatuh. Sesaat kemudian air bening itu terasa hangat membasahi pipiku lagi. Aku meringis sedih melihat wajahnya, jenggot tipis terlihat rapi di dagunya yang tirus. Kulitnya sawo matang, tapi tidak gelap lagi seperti dulu. Rambutnya rapi disisir ke kanan. Kemejanya bersih berwarna biru muda

"A-aku tidak ...."

"Tidak perlu ada yang dijelaskan, Hes. Ucapan selamat ini sudah lebih dari cukup. Katakan, kado apa yang kamu inginkan dariku?"

"Nggak! nggak, Bang!" Dadaku terasa sesak, hatiku berdesir tak karuan. Aku menangis mendekatinya dan hendak memeluknya. Tapi Bang Arsyad menahan kedua bahuku

"Jangan aneh-aneh, Hes. Ini bisa jadi fitnah, kita bukan anak-anak lagi."

"Aku nggak mau menikah dengannya, Bang." Aku bersuara lirih, memegang tangannya yang menahan kedua bahuku. Bang Arsyad jelas sudah tahu kabar pinangan itu.

"Eva sudah cerita semuanya barusan, Bang. Kenapa Abang tidak pernah mengabariku sedikitpun? Apa Abang tidak tahu kalau aku seperti orang gila mencari Abang selama ini?" Aku menangis, tak kuasa menahan rasa ini.

Bang Arsyad menggigit bibirnya, mengusap pelipis matanya yang mungkin terasa perih, tapi dia terlihat tegar dengan keadaan. Aku tahu dia sedih, tapi ia selalu bisa menyembunyikannya, kecuali saat Datuk Mar dan Mak Zati meninggal, air mata itu tidak bisa ia tahan. Dialah petarung tangguh kehidupan yang kulihat langsung dengan mataku sendiri.

"Apapun itu, takkan merubah apa-apa, Hes. Semuanya sudah ditakdirkan. Aku ingin marah kepada Tuhan yang menggariskannya, tapi aku tak berdaya, aku hanya bisa percaya ini yang terbaik untuk kita. Toh hanya Dia yang tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya."

Aku menggeleng, tak terima dengan alasannya, "Aku mencarimu di Jakarta, Bang. Pergi ke banyak tempat, mencari-cari namamu, dan sekarang aku mendengar dari Eva kalau Abang tidak memberi kabar karena tidak ingin menggangguku, tidak ingin merusak karirku. Ini nggak masuk akal, Bang."

"Semuanya sudah digariskan Tuhan, Hes." Bang Arsyad menunduk, menjawabku dengan singkat. Hanya itu saja yang biasa ia katakan, seolah pasrah dengan keadaan.

"Apa Tuhan menitipkan perasaan ini hanya untuk menyakitiku saja, Bang? Apa dia ingin melihatku hancur? Apa dosaku sama Dia, Bang? Kenapa Dia membuatku seperti ini?" Aku emosional, pikiranku tak jelas lagi. Semuanya terucap tanpa bisa kukendalikan

Lengang sejenak, Bang Arsyad terlihat menarik nafas panjang.

"Dari awal aku menyadari perasaan ini, aku sudah sadar, Hes. Kita beda, status kita di kampung ini beda. Aku hanya anak miskin, cucu petani, tidak punya ayah dan ibu. Sementara kamu, keluarga kaya, punya rumah panggung. Ayahmu saudagar, juga punya ladang dan sawah yang luas. Keluargamu terpandang. Dari awal aku sudah berusaha dan membunuh rasa ini, Hes. Dan seharusnya kamu juga melakukan hal serupa saat menyadari perasaan itu."

Aku menggeleng lagi, penjelasan Bang Arsyad tidak bisa kuterima sama sekali.

"Saat kamu menerima laki-laki di SMA dulu, aku sadar, Hes. Kita memang berbeda. kamu lebih cocok dengannya, anak orang kaya di kabupaten. Ayahnya pejabat, dan ibunya seorang dokter. Aku sadar diri, Hes. Aku hanya anak kampung dengan kulit gelap, miskin, kerja di ladang orang. Sementara kamu cantik dan putih, semua laki-laki di sekolah memujimu bak seorang bidadari. Aku hanya orang tak tahu diri yang menyimpan rasa itu, Hes. Aku sudah berusaha sebisaku untuk menyamai keluargamu dan pantas untukmu. Tapi sekarang takdir sudah memilih jalannya sendiri."

Aku meringis, tak percaya. Ya Tuhan, apa yang dipikirkan Bang Arsyad sebenarnya, aku tak mengerti sama sekali.

"Aku pikir setelah bisa kuliah di Jakarta dan mendapatkan pekerjaan bagus, aku bisa setara denganmu. Tapi ternyata tidak, kamu kuliah di kampus ternama negeri ini. Bahkan kamu bisa lanjut S2 disana dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Aku berpikir keras, apa yang harus kukerjakan untuk bisa setara denganmu, tapi kenyataannya tidak ada. Status keluarga kita sudah berbeda dari awal digariskan Tuhan, dan itu tidak bisa diubah, dan aku dengan besar hati menerimanya. Tuhan telah menuliskan takdir untukmu dengan indah. Syukuri dan jalani, Hes. Kamu akan bahagia dengan laki-laki itu.

Tentang Rasa (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang